Ditolaknya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU-BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menyulut berbagai macam opini publik yang menggelitik. Banyak dari mereka yang beranggapan bahwa keputusan yang diambil oleh MK merupakan awal dari bangkitnya kemajuan pendidikan di indonesia yang anti diskriminasi. Sebagian yang lain menyatakan bahwa putusan itu bagai "buah simalakama" bagi mereka yang menganggap bahwa pendidikan yang berkualitas itu memerlukan biaya yang tidak sedikit.
baik tidaknya keputusan yang diambil oleh MK, ada baiknya sejenak kita menilik kisah tokoh Lintang dalam film Laskar Pelangi. Sebagai anak seorang nelayan miskin, ia mampu mengalahkan rivalnya dari sekolah "elit" pada omba cerdas cermat. Artinya, pada kasus ini, aspek terpenting untuk mencerdaskan siswa adalah kemampuan keras dari siswa untuk belajar dan dukungan sosialnya termasuk didalamnya adalah guru, teman, dan orang tua. Berbeda dengan kisah Denias pada film yang di produseri Ari Sihasale yang menceritakan betapa susahnya menjadi siswa jika kita miskin.
Melihat dua kisah diatas, mengantarkan kita kepada sebuah fenomena yang cukup menarik jika diterawang dengan teropong UU-BHP. Jika UU-BHP tidak di tolak oleh MK, bisa jadi kasus-kasus yang menimpa Denias menjadi dongeng rutin yang akan kita dengar setiap hari. Dengan kata lain, mereka (para badan penyelenggara pendidikan) yang mengusung konsep BHP akan semakin melenggang bebas dengan "kekayaan" yang dimilikinya tanpa berfikir bagaimana orang-orang jenius kalangan bawah dapat mengenyam pendidikan itu dengan cara yang mudah.
Penolakan ini bisa jadi merupakan sebuah kesalahan masa depan. Karena akan membuat pusing para badan penyelenggara pendidikan yang mengusung konsep BHP. Kejadian cukup fatal mungkin sekali dapat terjadi jika para penyelenggara itu tidak menemukan sumber dana yang memadai seperti layaknya saat masih BHP, yang berakibat pada penurunan kualitas pendidikannya. imbas terberatnya adalah terhadap siswa ataupun mahasiswa yang diluluskannya, apakah kualitasnya masih sama dengan saat mengusung BHP atau justru malah menurun karena kacaunya sistem administrasi dan pendanaan.
akan tetapi kebijakan yang telah diketok palu oleh hakim MK juga bisa berpotensi sebagai sebuah kemaslahatan. Terutama terjadi pada mereka (Badan Penyelenggara Pendidikan) yang belum mampu atau "pura-pura "mampu menjalankan konsep BHP. Penyelenggara pendidikan yang seperti ini yang akan keteteran jika mengikuti konsep BHP. lemahnya sistem administrasi dan keroposnya pengelolaan pendanaan menjadi pemicu utama dari kehancuran jika mereka yang belum atau pura-pura mampu tetap ingin menjalankan konsep BHP. Sehingga yang terjadi justru lemahnya pengawasan pendanaan yang dapat memicu tindakan korupsi.
kedua peluang diatas akan terjawab bukan sesaat setelah keputusan tersebut di berlakukan, akan tetapi proses yang akan memberikan jawaban nyata dari konsekuensi logis itu. Artinya, kalaupun keputusan itu sekarang kita anggap suatu kesalahan, maka berusahalah untuk kita rubah menjadi sebuah kemaslahatan. kemaslahatan itu harus kita ciptkan dengan jalan memperkuat kualitas pendidikan bangsa dengan cara menjalankan fungsi masing-masing individu sesuai dengan hak dan kewajibannya sehingga mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi, sosial maupun budaya. Dengan hal itu, akan mudah bagi mereka kaum tertindas untuk memperoleh pendidikan yang layak yang nantinya bukan tidak mungkin justru merekalah yang akan menciptakan kemaslahatan di bangsa ini.
opini ini ditulis sebagai pewacanaan terhadap diri pribadi, jika sekiranya ada yang merasa tidak sepakat silahkan kita diskusikan bersama melewati kolom komentar di bawah artikel ini. Semoga apa yang ada di dalam ini mampu memberikan kemaslahatan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar