Rabu, 30 September 2009

BOPP Kian Menuai Protes


Innalillahi wainnailaihi rajiu’n..Telah meninggal dunia semangat pendidikan di kampus ini, telah meninggal dunia kampus pendidikan rakyat kampus Jenderal Soedirman!” seperti itulah salah satu kalimat yang dilontarkan oleh beberapa orator dalam aksi massa (31/03). Aksi tersebut memprotes munculnya BOPP sebagai pengganti POM. Munculnya BOPP kian menuai protes dari berbagai pihak tidak terkecuali Aliansi BEM se-Unsoed.

Munculnya aksi yang bertajuk “Aksi Damai Menolak BOPP” ini merupakan aksi kepedulian terhadap nasib Universitas Jenderal Soedirman yang kini semakin kehilangan statusnya sebagai kampus rakyat. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya biaya pendidikan yang semakin tidak terkendali, pungutan uang POM yang semakin mahal dari tahun ke tahun dan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) semakin mempertegas bahwa status Unsoed benar-benar menguras uang rakyat. Dalam hal ini mahasiswa yang menjadi objek komersialisasinya.

Hal tersebut diungkapkan oleh Aby Tawwakal, mahasiswa Fakultas Peternakan ’07. Menurutnya, komersialisasi pendidikan yang dilakukan Unsoed semakin menyusahkan masyarakat yang ingin generasi mudanya mengenyam pendidikan tinggi. “Munculnya BOPP sebagai pengganti POM merupakan suatu kebijakan yang semakin mempersulit calon mahasiswa baru untuk dapat mengenyam pendidikan di Unsoed”, ujar Aby.

Ironisnya, meroketnya biaya sumbangan baik berupa dana POM maupun BOPP tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas dan manajemen pendidikan yang sepadan. Menurutnya, Unsoed sudah tidak layak lagi menyandang predikat kampus termurah di Indonesia atau bahkan di dunia seperti yang pernah Rektor katakan. “Nyatanya sekarang Unsoed tidak murah, berkualitas pun tidak”, ungkap Aby yang pada saat aksi bertindak sebagai Koordinator Lapangan (Korlap).

Hal senada diungkapkan Presiden BEM Fapet, Iwan. Kebijakan munculnya BOPP dinilainya sebagai kuda-kuda Unsoed untuk merealisasikan cita-cita Birokrat Unsoed untuk menjadikan Unsoed sebagai Perguruan Tinggi berstatus Badan Hukum Pendidikan (BHP). Menurutnya, kebijakan yang diambil Birokrat Unsoed dengan menarik dana BOPP justeru semakin memperkeruh sistem manajerial kampus. “Unsoed kalau belum matang manajemennya terus menawarkan harga mahal ya percuma saja. Jadi solusi tegas menurut saya ya tolak BOPP!”, tegasnya.

Tanggapan berbeda diungkapkan oleh Irawan mahasiswa Biologi’05. Menurutnya, sesuai dengan Undang-Undang Dasar NKRI, bahwa persoalan pendidikan merupakan tanggung jawab Negara. Dengan demikian untuk masalah pendidikan tidak terlepas dari tanggung jawab Negara itu sendiri. Tidak terkecuali saat pemerintah mengatakan bahwa anggaran pendidikan telah disepakati sebesar 20% dari APBN. Meskipun demikian realisasinya tidak ada. Salah satu peserta aksi ini juga mengungkapkan bahwa dirinya juga menolak mekanisme penarikan uang POM. “Kalo emang dana 20% APBN sudah masuk nggak akan mungkin Unsoed menarik dana BOPP, kan seperti itu, jadi secara tidak langsung harus ada tanggung jawab dari pemerintah.” Paparnya.

Aksi yang diprakarsai oleh Aliansi BEM se-Unsoed ini merupakan tindak lanjut (follow up) dari acara Audiensi dengan Rektor di gedung Roedhiro. Acara tersebut juga dihadiri oleh Pembantu Rektor I (PR I) dan Kepala Biro yang membawahi BOPP.

Penurunan Jumlah Mahasiswa

Aliansi BEM se-Unsoed selama ini dianggap sebagai wadah pemikiran dari perwakilan BEM masing-masing fakultas yang ada di Unsoed. Mereka telah melakukan lima kali pertemuan terkait pembahasan isu berhentinya POM yang kemudian berubah menjadi BOPP. Pokok permasalahan yang diusung pihak Aliansi BEM terutama adalah mengenai besaran dana yang jauh berbeda dengan tahun sebelumnya (POM-red). Semisal di Fakultas Pertanian, sebelumnya besarnya dana POM yang ditarik dari mahasiswa angkatan’08 adalah 2,5 juta rupiah, sedangkan dana BOPP tahun ini untuk level I (level minimal) sebesar 5 juta rupiah. Hal ini dinilai akan berpengaruh terhadap jumlah mahasiswa baru yang diterima.

Pada buku petunjuk pendataran SPMB Lokal I tertulis “BOPP diperhitungkan dalam proses penerimaan”. Kerumitan masalah BOPP semakin terlihat jelas saat pertanyaan dilontarkan kepada rektor mengenai sumbangan yang melebihi level tertinggi yaitu level IV. Pada saat audiensi, rektor mengatakan tidak akan menerima sumbangan yang melebihi nilai level tertinggi. Sedangkan pada buku petunjuk SPMB Lokal tertulis bahwa “apabila anda akan mengisi BOPP lebih dari level IV maka isikan pada K-26 (BOPP lainnya) sesuai dengan kesanggupan anda”. Hal ini semakin memperjelas keruwetan sistem menejerial di kampus Unsoed terlebih saat ada perbedaan antara apa yang dikatakan oleh rector dengan kebijakan panitia UM. Di lain hal, mahasiswa yang menganggap dirinya sebagai kaum intelektual yang bermoral akan tetap menolak segala bentuk komersialisasi pendidikan yang terjadi di kampus. (Arif)


Senin, 28 September 2009

Keluarga dan Televisi, Perlu Ada Kerjasama yang Nyata

Keluarga dan Televisi,

Perlu Adanya Kerjasama yang Nyata



“Ojo cedak kebo gupak”

Sebagai negara yang berkembang, Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai predikat ke-4 di dunia kategori jumlah peduduk terbanyak. Disamping itu, Indonesia jika ditinjau dari segi grafik piramida penduduk. Indonesia menyandang jenis piramida penduduk muda, yang mempunyai arti bahwa Negara tersebut sedang mengalami pertumbuhan penduduk yang pesat, serta menunjukan bahwa sebagian besar berada kelompok umur muda atau anak-anak (0-14 tahun). Melihat begitu besarnya angka pertumbuhan penduduk di Indonesia. Seharusnya, masyarakat jangan terlalu berbangga diri. Justru sebaliknya. Dengan semakin pesatnya pertumbuhan penduduk, akan muncul masalah baru. Yaitu, bagaimana kita mendidik anak agar kelak anak tersebut menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa serta negara, tentunya semua itu perlu adanya proses pendidikan, baik pendidikan formal seperti sekolah dasar sampai perguruan tinggi maupun pendidikan informal seperti keluarga ataupun lembaga pendidikan bukan milik negara (swasta). Akan tetapi mendidik anak tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Apalagi pada masa ini kita menghadapi adanya arus modernisasi serta perkembangan tekhnologi terutama media masa elektronik yang “nakal” yang semakin tidak mendukung proses pendidikan serta pola pikir anak bangsa. Dalam hal ini yang dimaksud tidak mendidik adalah bukan karena adanya media masa elektronik, akan tetapi karena adanya suatu acara yang tidak pantas dikonsumsi oleh anak-anak. Maka, dengan adanya kasus diatas akan timbul fenomena sebab akibat dari adanya madia masa elektronik yang menayangkan acara-acara “nakal” . maka akibatnya adalah kerusakan moral yang diderita oleh sebagian generasi bangsa tersebut. Sekelumit kata mutiara berbahasa jawa diatas memberikan gambaran yang begitu jelas mengenai akibat yang timbul jika seseorang terutama anak, dekat dengan lingkungan masyarakat yang sedang “gupak” maka dapat dipastikan seseorang tersebut akan terkena “gupakan-nya” tersebut.

Sebenarnya pengaruh dari buruknya tayangan dunia pertelevisian di Indonesia. Tidak hanya berpengaruh pada pola pikir serta tingkah laku anak-anak saja. Orang tua (dewasa) juga dapat terkena imbas dari adanya tayangan tersebut. Seperti pada kasus-kasus pemerkosaan yang sering kita lihat di siaran berita berbagai stasiun televisi. Parahnya kebanyakan dari aksi mereka adalah dilakukan oleh orang yang sudah cukup umur. Dan ternyata penyebab timbulnya tindakan asusila tersebut hanya dilatar belakangi oleh hal yang sepele, yaitu menonton tayangan yang berbau pornografi, sehingga timbul pikiran-pikiran kotor yang akan mendorong terjadinya tindakan asusila. Jika orang yang sudah memiliki pola pikir serta mengerti tingkah laku yang baik saja dapat terpengaruh oleh tayangan tersebut. Maka sangatlah mungkin jika seorang anak akan terpengaruh. Serta bisa saja merekalah (anak-anak) yang justru akan mendapatkan efek yang lebih buruk dari adanya tayangan tersebut, karena anak-anak belum mempunyai pola pikir serta belum mengerti benar mengenai tingkah laku yang baik.

Saat ini sudah banyak anak yang menjadi korban “tayangan” televisi. Akan tetapi sebenarnya penyebab adanya tayangan yang tidak mendidik tersebut adalah disebabkan karena kelalaian dari pihak operator televisi serta pihak keluarga yang kurang perkontrolan terhadap anak. Kelalaian dari pihak operator televisi ini adalah kurang memperjelas rating umur dalam penayangan suatu acara. Misalkan Semua Umur (SU), Bimbingan Orang tua (BO) dan Dewasa (D/DW). Dilain hal, kesalahan pada Orang tua adalah terletak pada kekurang kontrolan terhadap anak saat menonton televisi. Misalkan saat acara yang rating umurnya menyatakan Bimbingan Orang tua (BO), maka orang tua harus memberikan bimbingan kepada anak mengenai apa yang perlu diambil dari tayangan tersebut dan mana yang harus dihindari. Saat ini mungkin hal tersebut baru mulai diperhatikan ketika sudah mengetahui dampaknya. Semua ini disebabkan karena memang beginilah budaya kita yang selalu reaktif daripada aktif, ibarat pepatah “sedia payung sebelum hujan” akan tetapi, kalau kita?.... kehujanan dulu baru cari payung. Maka Dari itu walaupun seakan-akan kita sudah terlambat menangani kasus ini, setidaknya untuk masa-masa kedepan kita dapat mencegah perkembangan kerusakan moral anak bangsa akibat tayangan televisi yang tidak mendidik.

Pada dasarnya seorang anak adalah ibarat seekor bunglon, jika bunglon hinggap di lingkungan yang berwarna hijau maka bunglon akan berubah hijau pula. Begitu pula terhadap seorang anak. Menurut suatu teori mengenai peranan (role theory) mengungkapkan bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan, salah satunya yaitu tahap persiapan (Preparatory Stage). Dalam tahap ini dimulai sejak manusia dilahirkan, saat seseorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman untuk dirinya. Tentunya mengenal dunia sosial, terdapat “jembatan” penghubung antara seorang anak dengan dunia sosial disekitarnya. Inilah yang sebenarnya menjadi kunci mengapa seseorang dapat “bernafas” di dunia sosial, yaitu karena adanya agen-agen pelaku sosial. Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan sosialisasi atau pengenalan, diantaranya yaitu adalah keluarga, kelompok bermain, media masa serta lembaga pendidikan sekolah. Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan. Pesan-pesan yang disampaikan oleh agen sosialisasi bisa saja berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan oleh orang tua, mungkin saja bertentangan dengan yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, saat dirumah seorang anak diajarkan untuk tidak merokok, tetapi mereka dapat dengan leluasa mempelajarinya dari teman serta media masa.

Sekali lagi, agen pembentuk kepribadian dalam keluarga yang paling utama adalah orang tua, sebab anak sepenuhnya berada dalam lingkungan keluarganya yang selalu dikontrol. Akan tetapi tidak sedikit anak yang sebenarnya lepas kontrol, akan tetapi mereka para orang tua menganggap hal tersebut biasa-biasa saja. Seperti menonton tayangan televisi yang menyorot hal-hal yang menuju SARA dan pornografi. Secara perlahan-lahan seorang anak akan meniru hal yang di tonton, karena memang begitulah sifat seorang anak yang masih dalam tahap persiapan.

Selain dari pada itu, besarnya pengaruh media masa sangat tergantung pada kualitas serta frekuensi pesan yang disampaikan. Misalnya, (1) Penayangan peperangan, film-film dan adegan-adegan kekerasan atau sadisme diyakini dapat memicu perilaku agresif pada anak yang menontonnya, (2) Adegan-adegan yang cenderung berbau pornografi telah mengikis moral anak bangsa. Dilain pihak, ternyata dalam dunia entertainment (pertelevisian) pornografi juga digunakan sebagai ajang politik ekonomi. Nyatanya, seperti yang sudah kita ketahui bahwa pornografi sudah dikemas sedemikian rupa sehingga tidak begitu ketara jika digunakan sebagai komoditi bisnis yang ternyata tidak hanya terkait bisnis entertainment semata. Akan tetapi, hal ini juga dimanfaatkan sebagai sarana strategis untuk melancarkan pemasaran suatu produk. dan (3) Iklan produk-produk tertentu telah menyebabkan salah tanggap mengenai manfaat yang diperoleh, seperti iklan rokok yang menghadirkan petualangan. Hal ini memberikan asumsi (terutama kepada anak-anak) bahwa seakan-akan jika sesorang mengfkonsumsi rokok maka orang tersebut akan menjadi pemberani.

Memang jika kita melihat tayangan televisi serta pengaruhnya terhadap anak. Mungkin kita akan menitikan air mata. Namun, setelah kita mengetahui lebih jauh mengenai “efek samping” dari tayangan televisi yang tidak mendidik tentunya kita tidak akan tinggal diam bukan?. Ataukah kita akan berdiam diri melihat kehancuran moralitas generasi penerus bangsa kita.

Oleh karena itu, sekali lagi, kita perlu meningkatkan kerjasama yang nyata antara pihak pertelevisian dengan keluarga dalam mengontrol anak demi terciptanya generasi bangsa yang mempunyai moral serta prospek yang cerah. Tapi mengapa kerjasama diutamakan pada media masa serta keluarga. Karena madia masa terutama elektronik sulit kita hindari keberadaannya, buktinya lebih dari 50% warga Indonesia memilikinya. Dan merupakan hal yang tidak mungkin jika kita “membuangnya” begitu saja tanpa digunakan. Lalu kenapa dengan keluarga. Karena yang namanya keluarga terutama orang tua adalah pelaku utama yang merupakan contoh serta titik tolak suatu perbuatan anak. Seuntai kata mutiara memaparkan “Air Cucuran Atap Jatuhnya ke Pelimahan Juga” yang bermakna lazimnya tingkah laku anak itu menurut contoh dari orang tuanya juga.,

Sekali lagi. Sebagai warga negara yang baik, yang peduli terhadap kemajuan nasib bangsanya haruslah senantiasa berusaha semaksimal mungkin. Karena sesungguhnya kasus ini merupakan permasalahan bersama, yang harus kita selesaikan bersama pula. Jangan dulu menyerah jika kita harus melakukan pemecahan kasus ini dari awal. Karena sesungguhnya “Berbilang dari Esa, Mengaji dari Alif” (mengerjakan sesuatu harus dari mulanya, baru berangsur-angsur sehingga selesai). (Arif)


Negara Berpolemik, Al-Qur'an Punya Taktik

NEGARA BERPOLEMIK, AL-QUR’AN PUNYA TAKTIK

Berbagai polemik kehidupan sering kali terjadi di hampir seluruh belahan dunia tanpa terkecuali di Indonesia pada beberapa kurun waktu terakhir ini. Baik polemik yang muncul di bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dalam hal ini pembahasan lebih cenderung pada polemik yang terjadi di bidang perekonomian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbagai polemik ekonomi yang terjadi diawali dengan masa-masa inflasi yang cukup menyakitkan. Yang kemudian diikuti dengan adanya krisis dunia yang turut menyumbangkan goresan luka bagi Negara berkembang seperti Indonesia.
Ketidakseimbangan kondisi ekonomi global dan krisis dunia yang melanda Asia khususnya Indonesia adalah merupakan suatu bukti konkret tentang adanya ketidak beresan mengenai sistem ekonomi yang selama ini kita anut. Hal ini ditengarai dengan munculnya keputusan penutupan sejumlah bank, dilakukannya take-over, serta sebagian bank lainnya harus direkapitulasi dengan memakan biaya ratusan triliun rupiah yang diambil dari uang Negara. Bahkan, beberapa hari yang lalu telah dikeluarkan keputusan oleh pemerintah mengenai kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Kenaikan harga BBM disebabkan oleh lifting atau produksi minyak mentah yang masih rendah serta harga minyak dunia yang kian meroket. Sementara pemerintah akan dipusingkan antara lain oleh BBM bersubsidi. Seperti yang dikatakan pengamat perminyakan Kurtubi, salah satu penyebab kenaikan harga BBM adalah rendahnya lifting terhadap minyak tanah.”Mau dinaikan berapa persenpun, persoalan belum selesai. Kalaupun harus dinaikkan 100 persen, pemerintah tetap harus waspada sebab harga minyak dunia akan tetap tinggi. Sementara produksi minyak nasional masih dibawah satu juta barel per hari,” ujarnya.
Namun berbagai problematika diatas bukanlah merupakan permasalahan absolut yang tanpa solusi. Sistem ekonomi yang berlandaskan Al-Qur’an-lah yang akan menjawab permasalahan yang sedang bangsa Indonesia hadapi. Sistem ekonomi yang dimaksud adalah sistem yang mengatur tata perekonomian dengan mengambil pemikiran berdasarkan Al-Qur’an. Meskipun Indonesia menganut sistem ekonomi pasar yaitu sistem yang memperbolehkan individu maupun perusahaan berhak mengambil keputusan yang menyangkut soal produksi dan konsumsi. Keputusan ekonomi umumnya diserahkan pada kekuatan-kekuatan pasar sehingga campur tangan pemerintah sangat terbatas. Sistem ini biasa disebut dengan sistem ekonomi liberal atau kapital. Namun merupakan hal yang pantas jika pengaturan sistem perekonomian Indonesia menggunakan perekonomian pasar yang digabung dengan konsep yang ada di dalam Al-Qur’an.
Sejatinya masalah ketata negaraan dalam kaitannya masalah tata perekonomian negara adalah merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, yang berarti termasuk dalam lingkup ijtihad umat Islam. Untuk itu kita perlu berusaha untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman suatu sistem yang konkrit agar dapat diterjemahkan dan diterapkan dalam suatu kepemerintahan. Perlu diperhatikan bahwa Al-Qur’an mengandung nilai-nilai serta ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial-politik-ekonomi manusia. Menurut Akhmad Muzakki, Selama Negara dapat menganut nilai-nilai yang ada dalam Al-Qur’an, maka pembentukan “Negara Islam” pada pengertian formal tidaklah teramat penting. Yang terpenting adalah ruh-nya, dengan klata lain nilai-nilai yang ada dalam Al-Qur’an seperti musyawarah (syûrâ), keadilan (‘adâlah), persamaan (musâwah), hak-hak asasi manusia (huqûq al-adamî), perdamaian (shalâh), keamanan (aman) dan lain-lain dapat di diaplikasikan dalam kehidupan bernegara.
Sementara itu, apapun sistem ekonominya, jika berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah maka tidaklah mustahil jika segala polemik Negara dapat teratasi. hal ini selaras dengan firman Allah:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”(QS. An-Nahl:89)
Dengan demikian, di dalam Al-Qur’an dan As Sunnah tentu akan didapati berbagai petunjuk dari Allah SWT yang dapat kita ambil untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan yang kita jalani. Tidak lain salah satunya adalah masalah perekonomian bangsa Indonesia.
Dalam kaitannya Al-Qur’an sebagai solusi masalah perekonomian di Indonesia adalah merujuk pada firman Allah SWT:
“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun” (QS. As Saba’:15).

Antara Narkoba, Cinta dan Facebook

Antara Narkoba, Cinta dan Facebook
Ibarat amplop dan perangko, permisalan yang cukup klise tersebut begitu menggambarkan jalinan kehidupan yang cukup erat seperti kehidupan remaja yang erat dengan romantika cinta dan dunia cyber. Peliknya kisah cinta acap kali menyerang kehidupan remaja dengan berbagai gejolak yang berbeda dari tiap individu. Terkadang cinta dapat menjadi candu yang cukup menjerat jiwa remaja dengan berbagai gejolak yang berbeda.
Tidak jauh berbeda dengan cinta, facebook sebagai salah satu situs jejaring sosial terbesar ini merupakan “mainan” baru bagi remaja indonesia. Sering kita jumpai adanya cafe-cafe yang menawarkan layanan Hot-Spot. Kalau kita cermati hampir semua pelanggan yang menggunakan layanan hotspot pastilah sedang membuka situs jejaring sosial ciptaan pria asal Silicon Valley, Mark Zuckerberg. Bahkan tidak sedikit remaja indonesia yang menjadikan Facebook-an (istilah familiar untuk bermain facebook) sebagai aktifitas wajib di internet. Sehingga hal ini dapat juga dikatakan sebagai candu bagi remaja-remaja penggila dunia cyber.
Menjelmanya cinta dan facebook sebagai candu remaja-remaja indonesia memiliki sisi positi dan negatif yang seimbang, artinya, sisi negatif dari candu yang ditimbulkan oleh cinta dan facebook tidak berbahaya ketika masih dalam taraf normal. Sisi negatif yang timbul dari adanya cinta adalah timbulnya gangguan jiwa yang dapat disembuhkan dengan cara yang cukup mudah. Begitu pula dengan efek negatif dari facebook sebagai candu yang dapat mengakibatkan ketergantungan berlama-lama dengan internet.
Tidak hanya cinta dan facebook yang dapat menjadi candu bagi remaja. Sering kita dengar istilah Narkoba. Narkoba sebagai bahan yang mengandung zat adiktif layak disebut sebagai candu yang cukup nyata. NARKOBA dikenal melalui sebuah istilah yang muncul dari penggabungan beberapa kata yaitu Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif. Narkoba merupakan bahan atau zat yang jika dimasukan dalam tubuh manusia, baik secara oral (diminum), dihirup, maupun disuntikan, dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang. Narkoba dapat dikatakan sebagai candu karena dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) fisik dan psikologis. Kita ketahui bersama bahwa narkotika dan psikotropika disuatu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat dibidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun disisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan tanpa pembatasan, pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.
Berdasarkan pemaparan data pada acara seminar yang diusung oleh Badan Narkotika Kabupaten Banyumas pada pertengahan bulan September tahun 2008 lalu, kita akan merasa terharu, lantaran dari data disebutkan bahwa hanya sekitar 10% dari pecandu narkoba yang pernah atau sedang dirawat di Rumah Sakit atau Panti Rehabilitasi. Sebagian besar (90%) tersebar di masyarakat dan penjara. Di sisi lain 90% dari penghuni lapas adalah narapidana kasus narkoba. Fenomena seperti inilah yang seharusnya menjadi cambuk bagi masyarakat untuk tetap berupaya sekuat tenaga memberantas peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba.
Sebagai suatu candu, narkoba memiliki pengaruh negatif yang cukup besar. Penyalahguna narkoba akan mudah terserang syndrome yang mengganggu kerja sistem syaraf pusat dan organ-organ vital lainnya. Hal yang paling ditakutkan dari penyalahgunaan narkoba adalah merebaknya penyebaran virus HIV/AIDS yang mematikan.
Akan sangat menyakitkan bila pada masa remaja yang merupakan suatu fase perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa sudah menyalahgunakan narkoba, maka sudah pastilah kehancuran menghadanag didepan mereka. Pada masa remaja, justru muncul sebuah keinginan besar untuk mencoba-coba, mengikuti trend dan gaya hidup di lingkungan sosialnya. Walaupun semua kecenderungan itu masih dalam batas kewajaran, namun hal itu bisa juga memudahkan remaja untuk terdorong menyalahgunakan narkoba. Menurut beberapa hasil survei menunjukkan bahwa jumlah penyalahguna narkoba yang paling banyak adalah kelompok usia remaja, artinya sebuah masalah besar akan menghadang karena para remaja penggunaan narkoba, akan tertular dan menularkan HIV/AIDS di kalangan remaja.
Melihat efek negatif yang ditimbulkan sebagai candu, narkoba lebih membahayakan daripada cinta dan facebook yang hanya memiliki segelintir efek negatif. Jika cinta sebagai candu, dapat menjadikan seseorang lupa diri begitu pula facebook yang dapat merubah orang menjadi lebih konsumtif dan sedikit menjauh dari interaksi sosial. Maka sebagai candu narkoba dapat mengakibatkan hilangya jati diri bahkan hilangnya nyawa ataupun paling tidak kemampuan finansial para pecandu narkoba akan semakin terkuras dan kemunghkinan besar akan dijauhi oleh masyarakat sekitar, sehingga secara tidak langsung mereka akan kehilangan salah satu wahana interaksi sosial mereka.
Sebuah slogan berbunyi “mencegah lebih baik daripada mengobati” dirasa masih tepat untuk dijadikan alternatif solusi trerkait permasalahan penyalahgunaan narkoba di kalangan masyarakat. Namun tidak sebatas slogan belaka. Tindakan nyata yang positif perlu sekali diterapkan untuk menangani masalah tersebut. Menilik remaja sebagai insan yang sedang semangat-semangatnya menjalani hidup, perlu adanya pengarahan terhadap setiap hal yang dilakukannya. Untuk terhindar dari jerat narkoba, remaja perlu melakukan aktivitas yang sekiranya dapat mengurangi kontak mereka dengan barang haram tersebut. Dengan kata lain, remaja perlu menyibukan diri. Namun dalam aktifitas-aktifitasnya, remaja perlu sesekali menyegarkan pikiran mereka untuk menghindari stress. Karena jika remaja mengalami stress akan sangat mudah bagi mereka untuk terjerat pada pusaran narkoba.
Pada dasarnya, tetap melakukan kegiatan-kegiatan positif yang bermanfaat merupakan alternatif solusi yang tepat untuk menjauhkan remaja dari bahaya yang di timbulkan narkoba. Karena bangsa ini akan kehilangan remaja yang sangat banyak jika masih ada praktek penyalahgunaan narkoba dan merebaknya HIV/AIDS. Kehilangan remaja sama artinya dengan kehilangan sumber daya manusia bagi bangsa yang artinya akan mudah sekali bangsa ini hancur jika remaja sebagai penerus bangsa sudah hancur terlebih dahulu. (Arif)

Pangan Langka Petani Merana

Pangan Langka Petani Merana


Gemah ripah loh jinawi bukan lagi merupakan slogan yang pantas disandang bagi bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan dengan menurunnya kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat petani, sementara harga pangan sulit untuk dijangkau masyarakat ekonomi kelas menengah kebawah. Sungguh ironis memang, negara yang notabene merupakan negara agraris justru mengalami kelangkaan bahan pangan pokok terutama beras yang menjadi makanan pokok sebagian besar warga Indonesia. Tidak adanya tindakan nyata (real actions) dalam bentuk kebijakan makroekonomi yang berpihak pada kelompok masyarakat papan bawah terutama petani, ditengarai merupakan salah satu penyebab kelangkaan pangan serta menurunnya kesejahteraan petani. Hal yang sangat disayangkan adalah dengan dalih menstabilkan harga pangan pemerintah justru melakukan impor 40 ribu ton beras kualitas premium dari Thailan. Padahal di Indonesia beras jenis super (kualitas premium) dapat diwakili oleh beras Cianjur dan IR-64. Sehingga sangatlah wajar jika selama ini petani Indonesia merasa dikucilkan yang berakibat mereka enggan untuk melakukan usaha tani.

Pada dasarnya pemerintah Indonesia sudah merasakan kondisi tersebut. Berbagai upaya terus dilakukan untuk menuju titik stabil yang optimal. Untuk menangulangi masalah tersebut pemerintah memiliki dua cara. Pertama, cara jangka pendek yang dilakukan dengan mengadakan operasi pasar di berbagai lokasi yang dianggap strategis. Kedua, cara jangka panjang. Untuk cara jangka panjang ini diantaranya dengan memasukan RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan kehutanan) kedalam daftar Triple Track Strategy Kabinet Indonesia Bersatu. Yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta menstabilkan ekonomi nasional. Selain dari pada itu pemerintah mulai mancanangkan pangan pokok alternatif yaitu dengan memproduksi bahan makanan pokok menjadi berbagai jenis seperti tepung ubi, sagu, serta pemberdayaan tanaman umbi-umbian terutama umbi jalar yang merupakan produksi umbi terbesar di Indonesia. Bahkan Indonesia menduduki peringkat 2 di bawah Cina ditinjau dari segi kuantitas produksi. Namun, pada kenyatannya kita belum merasakan manfaat yang konkret dari berbagai cara yang dicanangkan pemerintah terutama cara jangka panjang. Selama belum adanya kesinambungan antara pihak pemerintah dengan pihak distributor serta pelaku usaha tani maka kita akan tetap dihantui dengan pertanyaan; Bagaimana nasib kesejahteraan petani Indonesia ke depan?. (Arif)


Konsumtif, Budaya Baru Petani banyumas

Konsumtif, Budaya Baru Petani Banyumas


Perubahan sosial masyarakat merupakan sebuah fenomena kehidupan yang pasti terjadi. Tidak terkecuali bagi masyarakat petani di lingkungan kabupaten Banyumas, meskipun perubahan yang terjadi cukup lambat bagi masyarakat petani. Seperti yang diwacanakan oleh budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, bahwa masyarakat agraris lambat menerima perubahan karena masyarakat petani memiliki pola hidup yang pada mulanya sangat bergantung pada alam.

Perubahan yang terjadi dapat berupa bergesernya pola hidup dan kultur masyarakat. Pola hidup yang cenderung semakin konsumtif disinyalir sebagai akibat munculnya industrialisasi yang juga dialami petani Banyumas dewasa ini. Pola hidup konsumtif cenderung lebih besar ditimbulkan oleh industri berbentuk pabrik. Sebagai suatu industri yang memproduksi barang, pabrik sangat gencar memasarkan produknya. Sulyana Dadan selaku Dosen Sosiologi Industri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsoed angkat bicara. ”Kalau Banyumas sudah mulai bermunculan pabrik misalkan pabrik elektronik atau sepatu, itu justru akan membuat masyarakat semakin konsumtif. Karena seolah-olah produk hasil industri merupakan produk yang dibutuhkan masyarakat. Padahal bukan. Itu hanyalah kebutuhan semu. Parahnya masyarakat yang sudah terkena pola hidup konsumtif itu biasanya akan mudah menyebar”, terang Dadan (sapaan akrab Sulyana Dadan) yang ditemui Agrica, rabu (22/07), di kantornya.

Banyumas sebagai daerah yang notabene sebagian wilayahnya merupakan daerah pertanian, tentunya memiliki konsekuensi tersendiri terkait munculnya industrialisasi. Tidak jauh berbeda dengan masyarakat lainya, masyarakat petani Banyumas juga tidak terlepas dari mewabahnya pola hidup konsumtif. Fenomena tersebut terbukti dengan sudah tidak adanya lumbung padi yang digunakan petani untuk menyimpan hasil panen mereka

. Ahmad Tohari mengatakan, Minggu (19/07), ”Masyarakat Banyumas itu sudah semakin konsumtif. Lihat saja, Dulu lumbung padi itu merupakan bagian hidup petani. Tetapi saat ini lumbung itu sudah tidak ada. Hasil panen petani itu langsung dijual lalu hasilnya digunakan untuk membeli barang-barang. Konsumtifisme mereka itu dirangsang melalui siaran televisi”, terang penulis buku Ronggeng Dukuh Paruk itu.

Dibenarkan oleh Kusriyanto (54), petani desa Pabuaran, yang mengaku bahwa mereka tidak lagi menyimpan hasil panen untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari. “Sekarang petani sudah tidak menyimpan hasil panen di lumbung. Kalau sudah panen ya langsung dijual. Kalau dulu biasanya hasil panen yang dijual merupakan sisa dari hasil panen tahun lalu“, ungkapnya. Hasil panen yang dijual biasanya langsung digunakan untuk membeli barang-barang yang mereka anggap butuh meskipun sebenarnya bukan kebutuhan mereka. Ironisnya, terkadang mereka justru menggunakan uang hasil penjualan beras untuk membeli beras juga. Seperti yang diungkapkan Khamid (65), Petani desa Pamijen. “Lumbung padi sudah tidak ada, kalau sekarang kan pake uang jadi tinggal beli beras tidak usah disimpan di lumbung“.


Masyarakat tak sepenuhnya siap

Gencarnya indutrialisasi yang dicanangkan pemerintah Banyumas menuntut kesiapan yang menyeluruh dari masyarakat Banyumas. Kesiapan yang diperlukan tidak hanya berkutat pada infrastruktur, namun juga berasal dari warga Banyumas selaku pelaku industri. Dilain hal, infrastruktur yang ada belum mampu mengiringi munculnya industrialisasi. Begitu pula sumber daya manusia yang belum kompeten. “Kalau dalam computer itu ada hardware dan software. Kita itu software-nya seolah-olah seperti masyarakat industri misalnya dari gaya hidup dan pola konsumsinya, tetapi perangkat kerasnya belum ada. Saya kira masyarakat Banyumas saat ini belum begitu siap karena masyarakat Banyumas masih berbasis pertanian, selain itu sebagian wilayah Banyumas masih berupa pedesaan“ tambah Dadan.

Adanya tuntutan perubahan mengharuskan peningkatan SDM (Sumber daya Manusia) yang kompeten, setidaknya untuk mengawal perubahan-perubahan yang akan terjadi. Terutama perubahan yang berkaitan dengan sektor pertanian. Sebagai daerah yang memiliki lahan pertanian produktif Banyumas memerlukan perubahan yang signifikan menuju industri pertanian (agroindustri) daripada industri manufaktur. Ahmad Tohari menerangkan “Siap tidak siap industrialisasi merupakan tuntutan sosial, karena pertumbuhan masyarakat semakin meningkat begitu pula kebutuhanya. Namun perlu juga ada pendidikan keharusan perubahan untuk menyertai perkembangan agroindustri“, terang pria kelahiran Banyumas 13 Juli 1948.


Petani (masih) sebagai kawulo alit


Mencuatnya industrialisasi, terutama industri manufaktur yang semakin pesat berkembang di Kabupaten Banyumas cukup menurunkan minat masyarakat Banyumas untuk berkerja di bidang pertanian.

Image atau stigmatisasi terhadap petani bahwa bekerja sebagai petani merupakan pekerjaan yang rendah, sehingga kurang diminati oleh masyarakat Indonesia khususnya Banyumas. Petani dianggap sebagai masyarakat yang berada di lapisan bawah pada stratifikasi sosial masyarakat tradisional Jawa. Adanya startifikasi yaitu perbedaan masyarakat pada kelas-kelas secara bertingkat juga dianggap mempunyai andil terhadap menurunnya minat bertani dikalangan masyarakat Banyumas. Menurut Dadan, “Sejak dulu petani memang selalu identik dengan kelas bawah dan sampai sekarang image petani yang rendah masih tetap ada”, ujar Dosen yang sempat berprofesi sebagai wartawan surat kabar daerah. Hal serupa juga disampaikan Ahmad Tohari, ”Melihat jaman kerajaan mataram, sudah ada penggolongan wong tani (kawulo alit), jadi menjadi petani itu berarti menjadi orang lapis ketiga dimasyarakat tradisional jawa” ujarnya.

Pandangan yang rendah terhadap pekerjaan sebagai petani, semakin terbukti jelas dengan semakin banyaknya pemuda yang enggan bekerja di sektor pertanian. Sebagian besar pengangguran yang ada disebabkan karena mereka hanya berminat untuk bekerja pada pekerjaan yang mereka anggap ada pada strata yang lebih tinggi. Ditambah lagi sebagian besar masyarakat tani tidak menginginkan anaknya mewarisi pekerjaan orangtuanya. Mereka menginginkan anaknya mendapatkan pekerjaan yang dianggapnya lebih layak. Khamid mengaku ”Saya sih ingin anak saya punya pekerjaan yang lebih baik dari saya. Selian mereka memang tidak mau, sayanya juga nggak mau kalau anak saya bekerja seperti saya”, ujarnya.

Seperti layaknya kebijakan lainnya, kebijakan menyangkut industrialisasi juga tidak terlepas dari adanya pro dan kontra. Pro dan kontra yang muncul dilandasi oleh pemikiran dan sudut pandang yang berbeda. Sebagian masyarakat menyetujui munculnya industrialisasi karena dipandang industrialisasi akan banyak menyerap tenaga kerja. “Sekarang itu sudah nggak ada pemuda yang mau bekerja sebagai petani, jadi kalo ada industri baru, itu akan mengurangi pengangguran. ”ungkap Khamid. Hal yang hampir senada diungkapkan Kusriyanto, “Saya juga sepakat kalo ada industri pabrik, karena itu bisa mengurangi pengangguran, tapi kalau industri perumahan saya kurang sepakat karena penyerapan tenaga kerjanya kurang banyak. Namun sebagai petani, saya sebenarnya lebih suka bertani, karena saya merasa senang jika lihat yang hijau-hijau”, ungkapnya.

Bertolak dari semua itu, pada hakikatnya perubahan merupakan suatu keharusan untuk memenuhi suatu kebutuhan, karena kebutuhan manusia selalu bertambah seiring berkembangnya zaman. Namun demikian, terkadang perkembangan zaman tidak sepenuhnya diiringi oleh peningkatan alat pemuas kebutuhan masyarakat. Di sinilah tugas berat yang perlu dilaksanakan seluruh elemen masyarakat untuk mempersiapkan diri menghadapi tuntutan perubahan. Kusriyanto mengatakan bahwa petani memang harus mengikuti perkembangan sekitar dengan berusaha mempersiapkan diri menghadapi industrialisasi. ( Arif, Nhya, Pyt, Firda )