Senin, 28 September 2009

Pangan Langka Petani Merana

Pangan Langka Petani Merana


Gemah ripah loh jinawi bukan lagi merupakan slogan yang pantas disandang bagi bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan dengan menurunnya kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat petani, sementara harga pangan sulit untuk dijangkau masyarakat ekonomi kelas menengah kebawah. Sungguh ironis memang, negara yang notabene merupakan negara agraris justru mengalami kelangkaan bahan pangan pokok terutama beras yang menjadi makanan pokok sebagian besar warga Indonesia. Tidak adanya tindakan nyata (real actions) dalam bentuk kebijakan makroekonomi yang berpihak pada kelompok masyarakat papan bawah terutama petani, ditengarai merupakan salah satu penyebab kelangkaan pangan serta menurunnya kesejahteraan petani. Hal yang sangat disayangkan adalah dengan dalih menstabilkan harga pangan pemerintah justru melakukan impor 40 ribu ton beras kualitas premium dari Thailan. Padahal di Indonesia beras jenis super (kualitas premium) dapat diwakili oleh beras Cianjur dan IR-64. Sehingga sangatlah wajar jika selama ini petani Indonesia merasa dikucilkan yang berakibat mereka enggan untuk melakukan usaha tani.

Pada dasarnya pemerintah Indonesia sudah merasakan kondisi tersebut. Berbagai upaya terus dilakukan untuk menuju titik stabil yang optimal. Untuk menangulangi masalah tersebut pemerintah memiliki dua cara. Pertama, cara jangka pendek yang dilakukan dengan mengadakan operasi pasar di berbagai lokasi yang dianggap strategis. Kedua, cara jangka panjang. Untuk cara jangka panjang ini diantaranya dengan memasukan RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan kehutanan) kedalam daftar Triple Track Strategy Kabinet Indonesia Bersatu. Yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta menstabilkan ekonomi nasional. Selain dari pada itu pemerintah mulai mancanangkan pangan pokok alternatif yaitu dengan memproduksi bahan makanan pokok menjadi berbagai jenis seperti tepung ubi, sagu, serta pemberdayaan tanaman umbi-umbian terutama umbi jalar yang merupakan produksi umbi terbesar di Indonesia. Bahkan Indonesia menduduki peringkat 2 di bawah Cina ditinjau dari segi kuantitas produksi. Namun, pada kenyatannya kita belum merasakan manfaat yang konkret dari berbagai cara yang dicanangkan pemerintah terutama cara jangka panjang. Selama belum adanya kesinambungan antara pihak pemerintah dengan pihak distributor serta pelaku usaha tani maka kita akan tetap dihantui dengan pertanyaan; Bagaimana nasib kesejahteraan petani Indonesia ke depan?. (Arif)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar