Konsumtif, Budaya Baru Petani Banyumas
Perubahan sosial masyarakat merupakan sebuah fenomena kehidupan yang pasti terjadi. Tidak terkecuali bagi masyarakat petani di lingkungan kabupaten Banyumas, meskipun perubahan yang terjadi cukup lambat bagi masyarakat petani. Seperti yang diwacanakan oleh budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, bahwa masyarakat agraris lambat menerima perubahan karena masyarakat petani memiliki pola hidup yang pada mulanya sangat bergantung pada alam.
Perubahan yang terjadi dapat berupa bergesernya pola hidup dan kultur masyarakat. Pola hidup yang cenderung semakin konsumtif disinyalir sebagai akibat munculnya industrialisasi yang juga dialami petani Banyumas dewasa ini. Pola hidup konsumtif cenderung lebih besar ditimbulkan oleh industri berbentuk pabrik. Sebagai suatu industri yang memproduksi barang, pabrik sangat gencar memasarkan produknya. Sulyana Dadan selaku Dosen Sosiologi Industri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsoed angkat bicara. ”Kalau Banyumas sudah mulai bermunculan pabrik misalkan pabrik elektronik atau sepatu, itu justru akan membuat masyarakat semakin konsumtif. Karena seolah-olah produk hasil industri merupakan produk yang dibutuhkan masyarakat. Padahal bukan. Itu hanyalah kebutuhan semu. Parahnya masyarakat yang sudah terkena pola hidup konsumtif itu biasanya akan mudah menyebar”, terang Dadan (sapaan akrab Sulyana Dadan) yang ditemui Agrica, rabu (22/07), di kantornya.
Banyumas sebagai daerah yang notabene sebagian wilayahnya merupakan daerah pertanian, tentunya memiliki konsekuensi tersendiri terkait munculnya industrialisasi. Tidak jauh berbeda dengan masyarakat lainya, masyarakat petani Banyumas juga tidak terlepas dari mewabahnya pola hidup konsumtif. Fenomena tersebut terbukti dengan sudah tidak adanya lumbung padi yang digunakan petani untuk menyimpan hasil panen mereka
. Ahmad Tohari mengatakan, Minggu (19/07), ”Masyarakat Banyumas itu sudah semakin konsumtif. Lihat saja, Dulu lumbung padi itu merupakan bagian hidup petani. Tetapi saat ini lumbung itu sudah tidak ada. Hasil panen petani itu langsung dijual lalu hasilnya digunakan untuk membeli barang-barang. Konsumtifisme mereka itu dirangsang melalui siaran televisi”, terang penulis buku Ronggeng Dukuh Paruk itu.
Dibenarkan oleh Kusriyanto (54), petani desa Pabuaran, yang mengaku bahwa mereka tidak lagi menyimpan hasil panen untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari. “Sekarang petani sudah tidak menyimpan hasil panen di lumbung. Kalau sudah panen ya langsung dijual. Kalau dulu biasanya hasil panen yang dijual merupakan sisa dari hasil panen tahun lalu“, ungkapnya. Hasil panen yang dijual biasanya langsung digunakan untuk membeli barang-barang yang mereka anggap butuh meskipun sebenarnya bukan kebutuhan mereka. Ironisnya, terkadang mereka justru menggunakan uang hasil penjualan beras untuk membeli beras juga. Seperti yang diungkapkan Khamid (65), Petani desa Pamijen. “Lumbung padi sudah tidak ada, kalau sekarang kan pake uang jadi tinggal beli beras tidak usah disimpan di lumbung“.
Masyarakat tak sepenuhnya siap
Gencarnya indutrialisasi yang dicanangkan pemerintah Banyumas menuntut kesiapan yang menyeluruh dari masyarakat Banyumas. Kesiapan yang diperlukan tidak hanya berkutat pada infrastruktur, namun juga berasal dari warga Banyumas selaku pelaku industri. Dilain hal, infrastruktur yang ada belum mampu mengiringi munculnya industrialisasi. Begitu pula sumber daya manusia yang belum kompeten. “Kalau dalam computer itu ada hardware dan software. Kita itu software-nya seolah-olah seperti masyarakat industri misalnya dari gaya hidup dan pola konsumsinya, tetapi perangkat kerasnya belum ada. Saya kira masyarakat Banyumas saat ini belum begitu siap karena masyarakat Banyumas masih berbasis pertanian, selain itu sebagian wilayah Banyumas masih berupa pedesaan“ tambah Dadan.
Adanya tuntutan perubahan mengharuskan peningkatan SDM (Sumber daya Manusia) yang kompeten, setidaknya untuk mengawal perubahan-perubahan yang akan terjadi. Terutama perubahan yang berkaitan dengan sektor pertanian. Sebagai daerah yang memiliki lahan pertanian produktif Banyumas memerlukan perubahan yang signifikan menuju industri pertanian (agroindustri) daripada industri manufaktur. Ahmad Tohari menerangkan “Siap tidak siap industrialisasi merupakan tuntutan sosial, karena pertumbuhan masyarakat semakin meningkat begitu pula kebutuhanya. Namun perlu juga ada pendidikan keharusan perubahan untuk menyertai perkembangan agroindustri“, terang pria kelahiran Banyumas 13 Juli 1948.
Petani (masih) sebagai kawulo alit
Mencuatnya industrialisasi, terutama industri manufaktur yang semakin pesat berkembang di Kabupaten Banyumas cukup menurunkan minat masyarakat Banyumas untuk berkerja di bidang pertanian.
Image atau stigmatisasi terhadap petani bahwa bekerja sebagai petani merupakan pekerjaan yang rendah, sehingga kurang diminati oleh masyarakat Indonesia khususnya Banyumas. Petani dianggap sebagai masyarakat yang berada di lapisan bawah pada stratifikasi sosial masyarakat tradisional Jawa. Adanya startifikasi yaitu perbedaan masyarakat pada kelas-kelas secara bertingkat juga dianggap mempunyai andil terhadap menurunnya minat bertani dikalangan masyarakat Banyumas. Menurut Dadan, “Sejak dulu petani memang selalu identik dengan kelas bawah dan sampai sekarang image petani yang rendah masih tetap ada”, ujar Dosen yang sempat berprofesi sebagai wartawan surat kabar daerah. Hal serupa juga disampaikan Ahmad Tohari, ”Melihat jaman kerajaan mataram, sudah ada penggolongan wong tani (kawulo alit), jadi menjadi petani itu berarti menjadi orang lapis ketiga dimasyarakat tradisional jawa” ujarnya.
Pandangan yang rendah terhadap pekerjaan sebagai petani, semakin terbukti jelas dengan semakin banyaknya pemuda yang enggan bekerja di sektor pertanian. Sebagian besar pengangguran yang ada disebabkan karena mereka hanya berminat untuk bekerja pada pekerjaan yang mereka anggap ada pada strata yang lebih tinggi. Ditambah lagi sebagian besar masyarakat tani tidak menginginkan anaknya mewarisi pekerjaan orangtuanya. Mereka menginginkan anaknya mendapatkan pekerjaan yang dianggapnya lebih layak. Khamid mengaku ”Saya sih ingin anak saya punya pekerjaan yang lebih baik dari saya. Selian mereka memang tidak mau, sayanya juga nggak mau kalau anak saya bekerja seperti saya”, ujarnya.
Seperti layaknya kebijakan lainnya, kebijakan menyangkut industrialisasi juga tidak terlepas dari adanya pro dan kontra. Pro dan kontra yang muncul dilandasi oleh pemikiran dan sudut pandang yang berbeda. Sebagian masyarakat menyetujui munculnya industrialisasi karena dipandang industrialisasi akan banyak menyerap tenaga kerja. “Sekarang itu sudah nggak ada pemuda yang mau bekerja sebagai petani, jadi kalo ada industri baru, itu akan mengurangi pengangguran. ”ungkap Khamid. Hal yang hampir senada diungkapkan Kusriyanto, “Saya juga sepakat kalo ada industri pabrik, karena itu bisa mengurangi pengangguran, tapi kalau industri perumahan saya kurang sepakat karena penyerapan tenaga kerjanya kurang banyak. Namun sebagai petani, saya sebenarnya lebih suka bertani, karena saya merasa senang jika lihat yang hijau-hijau”, ungkapnya.
Bertolak dari semua itu, pada hakikatnya perubahan merupakan suatu keharusan untuk memenuhi suatu kebutuhan, karena kebutuhan manusia selalu bertambah seiring berkembangnya zaman. Namun demikian, terkadang perkembangan zaman tidak sepenuhnya diiringi oleh peningkatan alat pemuas kebutuhan masyarakat. Di sinilah tugas berat yang perlu dilaksanakan seluruh elemen masyarakat untuk mempersiapkan diri menghadapi tuntutan perubahan. Kusriyanto mengatakan bahwa petani memang harus mengikuti perkembangan sekitar dengan berusaha mempersiapkan diri menghadapi industrialisasi. ( Arif, Nhya, Pyt, Firda )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar