Keluarga dan Televisi,
Perlu Adanya Kerjasama yang Nyata
“Ojo cedak kebo gupak”
Sebagai negara yang berkembang, Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai predikat ke-4 di dunia kategori jumlah peduduk terbanyak. Disamping itu, Indonesia jika ditinjau dari segi grafik piramida penduduk. Indonesia menyandang jenis piramida penduduk muda, yang mempunyai arti bahwa Negara tersebut sedang mengalami pertumbuhan penduduk yang pesat, serta menunjukan bahwa sebagian besar berada kelompok umur muda atau anak-anak (0-14 tahun). Melihat begitu besarnya angka pertumbuhan penduduk di Indonesia. Seharusnya, masyarakat jangan terlalu berbangga diri. Justru sebaliknya. Dengan semakin pesatnya pertumbuhan penduduk, akan muncul masalah baru. Yaitu, bagaimana kita mendidik anak agar kelak anak tersebut menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa serta negara, tentunya semua itu perlu adanya proses pendidikan, baik pendidikan formal seperti sekolah dasar sampai perguruan tinggi maupun pendidikan informal seperti keluarga ataupun lembaga pendidikan bukan milik negara (swasta). Akan tetapi mendidik anak tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Apalagi pada masa ini kita menghadapi adanya arus modernisasi serta perkembangan tekhnologi terutama media masa elektronik yang “nakal” yang semakin tidak mendukung proses pendidikan serta pola pikir anak bangsa. Dalam hal ini yang dimaksud tidak mendidik adalah bukan karena adanya media masa elektronik, akan tetapi karena adanya suatu acara yang tidak pantas dikonsumsi oleh anak-anak. Maka, dengan adanya kasus diatas akan timbul fenomena sebab akibat dari adanya madia masa elektronik yang menayangkan acara-acara “nakal” . maka akibatnya adalah kerusakan moral yang diderita oleh sebagian generasi bangsa tersebut. Sekelumit kata mutiara berbahasa jawa diatas memberikan gambaran yang begitu jelas mengenai akibat yang timbul jika seseorang terutama anak, dekat dengan lingkungan masyarakat yang sedang “gupak” maka dapat dipastikan seseorang tersebut akan terkena “gupakan-nya” tersebut.
Sebenarnya pengaruh dari buruknya tayangan dunia pertelevisian di Indonesia. Tidak hanya berpengaruh pada pola pikir serta tingkah laku anak-anak saja. Orang tua (dewasa) juga dapat terkena imbas dari adanya tayangan tersebut. Seperti pada kasus-kasus pemerkosaan yang sering kita lihat di siaran berita berbagai stasiun televisi. Parahnya kebanyakan dari aksi mereka adalah dilakukan oleh orang yang sudah cukup umur. Dan ternyata penyebab timbulnya tindakan asusila tersebut hanya dilatar belakangi oleh hal yang sepele, yaitu menonton tayangan yang berbau pornografi, sehingga timbul pikiran-pikiran kotor yang akan mendorong terjadinya tindakan asusila. Jika orang yang sudah memiliki pola pikir serta mengerti tingkah laku yang baik saja dapat terpengaruh oleh tayangan tersebut. Maka sangatlah mungkin jika seorang anak akan terpengaruh. Serta bisa saja merekalah (anak-anak) yang justru akan mendapatkan efek yang lebih buruk dari adanya tayangan tersebut, karena anak-anak belum mempunyai pola pikir serta belum mengerti benar mengenai tingkah laku yang baik.
Saat ini sudah banyak anak yang menjadi korban “tayangan” televisi. Akan tetapi sebenarnya penyebab adanya tayangan yang tidak mendidik tersebut adalah disebabkan karena kelalaian dari pihak operator televisi serta pihak keluarga yang kurang perkontrolan terhadap anak. Kelalaian dari pihak operator televisi ini adalah kurang memperjelas rating umur dalam penayangan suatu acara. Misalkan Semua Umur (SU), Bimbingan Orang tua (BO) dan Dewasa (D/DW). Dilain hal, kesalahan pada Orang tua adalah terletak pada kekurang kontrolan terhadap anak saat menonton televisi. Misalkan saat acara yang rating umurnya menyatakan Bimbingan Orang tua (BO), maka orang tua harus memberikan bimbingan kepada anak mengenai apa yang perlu diambil dari tayangan tersebut dan mana yang harus dihindari. Saat ini mungkin hal tersebut baru mulai diperhatikan ketika sudah mengetahui dampaknya. Semua ini disebabkan karena memang beginilah budaya kita yang selalu reaktif daripada aktif, ibarat pepatah “sedia payung sebelum hujan” akan tetapi, kalau kita?.... kehujanan dulu baru cari payung. Maka Dari itu walaupun seakan-akan kita sudah terlambat menangani kasus ini, setidaknya untuk masa-masa kedepan kita dapat mencegah perkembangan kerusakan moral anak bangsa akibat tayangan televisi yang tidak mendidik.
Pada dasarnya seorang anak adalah ibarat seekor bunglon, jika bunglon hinggap di lingkungan yang berwarna hijau maka bunglon akan berubah hijau pula. Begitu pula terhadap seorang anak. Menurut suatu teori mengenai peranan (role theory) mengungkapkan bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan, salah satunya yaitu tahap persiapan (Preparatory Stage). Dalam tahap ini dimulai sejak manusia dilahirkan, saat seseorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman untuk dirinya. Tentunya mengenal dunia sosial, terdapat “jembatan” penghubung antara seorang anak dengan dunia sosial disekitarnya. Inilah yang sebenarnya menjadi kunci mengapa seseorang dapat “bernafas” di dunia sosial, yaitu karena adanya agen-agen pelaku sosial. Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan sosialisasi atau pengenalan, diantaranya yaitu adalah keluarga, kelompok bermain, media masa serta lembaga pendidikan sekolah. Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan. Pesan-pesan yang disampaikan oleh agen sosialisasi bisa saja berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan oleh orang tua, mungkin saja bertentangan dengan yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, saat dirumah seorang anak diajarkan untuk tidak merokok, tetapi mereka dapat dengan leluasa mempelajarinya dari teman serta media masa.
Sekali lagi, agen pembentuk kepribadian dalam keluarga yang paling utama adalah orang tua, sebab anak sepenuhnya berada dalam lingkungan keluarganya yang selalu dikontrol. Akan tetapi tidak sedikit anak yang sebenarnya lepas kontrol, akan tetapi mereka para orang tua menganggap hal tersebut biasa-biasa saja. Seperti menonton tayangan televisi yang menyorot hal-hal yang menuju SARA dan pornografi. Secara perlahan-lahan seorang anak akan meniru hal yang di tonton, karena memang begitulah sifat seorang anak yang masih dalam tahap persiapan.
Selain dari pada itu, besarnya pengaruh media masa sangat tergantung pada kualitas serta frekuensi pesan yang disampaikan. Misalnya, (1) Penayangan peperangan, film-film dan adegan-adegan kekerasan atau sadisme diyakini dapat memicu perilaku agresif pada anak yang menontonnya, (2) Adegan-adegan yang cenderung berbau pornografi telah mengikis moral anak bangsa. Dilain pihak, ternyata dalam dunia entertainment (pertelevisian) pornografi juga digunakan sebagai ajang politik ekonomi. Nyatanya, seperti yang sudah kita ketahui bahwa pornografi sudah dikemas sedemikian rupa sehingga tidak begitu ketara jika digunakan sebagai komoditi bisnis yang ternyata tidak hanya terkait bisnis entertainment semata. Akan tetapi, hal ini juga dimanfaatkan sebagai sarana strategis untuk melancarkan pemasaran suatu produk. dan (3) Iklan produk-produk tertentu telah menyebabkan salah tanggap mengenai manfaat yang diperoleh, seperti iklan rokok yang menghadirkan petualangan. Hal ini memberikan asumsi (terutama kepada anak-anak) bahwa seakan-akan jika sesorang mengfkonsumsi rokok maka orang tersebut akan menjadi pemberani.
Memang jika kita melihat tayangan televisi serta pengaruhnya terhadap anak. Mungkin kita akan menitikan air mata. Namun, setelah kita mengetahui lebih jauh mengenai “efek samping” dari tayangan televisi yang tidak mendidik tentunya kita tidak akan tinggal diam bukan?. Ataukah kita akan berdiam diri melihat kehancuran moralitas generasi penerus bangsa kita.
Oleh karena itu, sekali lagi, kita perlu meningkatkan kerjasama yang nyata antara pihak pertelevisian dengan keluarga dalam mengontrol anak demi terciptanya generasi bangsa yang mempunyai moral serta prospek yang cerah. Tapi mengapa kerjasama diutamakan pada media masa serta keluarga. Karena madia masa terutama elektronik sulit kita hindari keberadaannya, buktinya lebih dari 50% warga Indonesia memilikinya. Dan merupakan hal yang tidak mungkin jika kita “membuangnya” begitu saja tanpa digunakan. Lalu kenapa dengan keluarga. Karena yang namanya keluarga terutama orang tua adalah pelaku utama yang merupakan contoh serta titik tolak suatu perbuatan anak. Seuntai kata mutiara memaparkan “Air Cucuran Atap Jatuhnya ke Pelimahan Juga” yang bermakna lazimnya tingkah laku anak itu menurut contoh dari orang tuanya juga.,
Sekali lagi. Sebagai warga negara yang baik, yang peduli terhadap kemajuan nasib bangsanya haruslah senantiasa berusaha semaksimal mungkin. Karena sesungguhnya kasus ini merupakan permasalahan bersama, yang harus kita selesaikan bersama pula. Jangan dulu menyerah jika kita harus melakukan pemecahan kasus ini dari awal. Karena sesungguhnya “Berbilang dari Esa, Mengaji dari Alif” (mengerjakan sesuatu harus dari mulanya, baru berangsur-angsur sehingga selesai). (Arif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar