Rabu, 30 September 2009

BOPP Kian Menuai Protes


Innalillahi wainnailaihi rajiu’n..Telah meninggal dunia semangat pendidikan di kampus ini, telah meninggal dunia kampus pendidikan rakyat kampus Jenderal Soedirman!” seperti itulah salah satu kalimat yang dilontarkan oleh beberapa orator dalam aksi massa (31/03). Aksi tersebut memprotes munculnya BOPP sebagai pengganti POM. Munculnya BOPP kian menuai protes dari berbagai pihak tidak terkecuali Aliansi BEM se-Unsoed.

Munculnya aksi yang bertajuk “Aksi Damai Menolak BOPP” ini merupakan aksi kepedulian terhadap nasib Universitas Jenderal Soedirman yang kini semakin kehilangan statusnya sebagai kampus rakyat. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya biaya pendidikan yang semakin tidak terkendali, pungutan uang POM yang semakin mahal dari tahun ke tahun dan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) semakin mempertegas bahwa status Unsoed benar-benar menguras uang rakyat. Dalam hal ini mahasiswa yang menjadi objek komersialisasinya.

Hal tersebut diungkapkan oleh Aby Tawwakal, mahasiswa Fakultas Peternakan ’07. Menurutnya, komersialisasi pendidikan yang dilakukan Unsoed semakin menyusahkan masyarakat yang ingin generasi mudanya mengenyam pendidikan tinggi. “Munculnya BOPP sebagai pengganti POM merupakan suatu kebijakan yang semakin mempersulit calon mahasiswa baru untuk dapat mengenyam pendidikan di Unsoed”, ujar Aby.

Ironisnya, meroketnya biaya sumbangan baik berupa dana POM maupun BOPP tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas dan manajemen pendidikan yang sepadan. Menurutnya, Unsoed sudah tidak layak lagi menyandang predikat kampus termurah di Indonesia atau bahkan di dunia seperti yang pernah Rektor katakan. “Nyatanya sekarang Unsoed tidak murah, berkualitas pun tidak”, ungkap Aby yang pada saat aksi bertindak sebagai Koordinator Lapangan (Korlap).

Hal senada diungkapkan Presiden BEM Fapet, Iwan. Kebijakan munculnya BOPP dinilainya sebagai kuda-kuda Unsoed untuk merealisasikan cita-cita Birokrat Unsoed untuk menjadikan Unsoed sebagai Perguruan Tinggi berstatus Badan Hukum Pendidikan (BHP). Menurutnya, kebijakan yang diambil Birokrat Unsoed dengan menarik dana BOPP justeru semakin memperkeruh sistem manajerial kampus. “Unsoed kalau belum matang manajemennya terus menawarkan harga mahal ya percuma saja. Jadi solusi tegas menurut saya ya tolak BOPP!”, tegasnya.

Tanggapan berbeda diungkapkan oleh Irawan mahasiswa Biologi’05. Menurutnya, sesuai dengan Undang-Undang Dasar NKRI, bahwa persoalan pendidikan merupakan tanggung jawab Negara. Dengan demikian untuk masalah pendidikan tidak terlepas dari tanggung jawab Negara itu sendiri. Tidak terkecuali saat pemerintah mengatakan bahwa anggaran pendidikan telah disepakati sebesar 20% dari APBN. Meskipun demikian realisasinya tidak ada. Salah satu peserta aksi ini juga mengungkapkan bahwa dirinya juga menolak mekanisme penarikan uang POM. “Kalo emang dana 20% APBN sudah masuk nggak akan mungkin Unsoed menarik dana BOPP, kan seperti itu, jadi secara tidak langsung harus ada tanggung jawab dari pemerintah.” Paparnya.

Aksi yang diprakarsai oleh Aliansi BEM se-Unsoed ini merupakan tindak lanjut (follow up) dari acara Audiensi dengan Rektor di gedung Roedhiro. Acara tersebut juga dihadiri oleh Pembantu Rektor I (PR I) dan Kepala Biro yang membawahi BOPP.

Penurunan Jumlah Mahasiswa

Aliansi BEM se-Unsoed selama ini dianggap sebagai wadah pemikiran dari perwakilan BEM masing-masing fakultas yang ada di Unsoed. Mereka telah melakukan lima kali pertemuan terkait pembahasan isu berhentinya POM yang kemudian berubah menjadi BOPP. Pokok permasalahan yang diusung pihak Aliansi BEM terutama adalah mengenai besaran dana yang jauh berbeda dengan tahun sebelumnya (POM-red). Semisal di Fakultas Pertanian, sebelumnya besarnya dana POM yang ditarik dari mahasiswa angkatan’08 adalah 2,5 juta rupiah, sedangkan dana BOPP tahun ini untuk level I (level minimal) sebesar 5 juta rupiah. Hal ini dinilai akan berpengaruh terhadap jumlah mahasiswa baru yang diterima.

Pada buku petunjuk pendataran SPMB Lokal I tertulis “BOPP diperhitungkan dalam proses penerimaan”. Kerumitan masalah BOPP semakin terlihat jelas saat pertanyaan dilontarkan kepada rektor mengenai sumbangan yang melebihi level tertinggi yaitu level IV. Pada saat audiensi, rektor mengatakan tidak akan menerima sumbangan yang melebihi nilai level tertinggi. Sedangkan pada buku petunjuk SPMB Lokal tertulis bahwa “apabila anda akan mengisi BOPP lebih dari level IV maka isikan pada K-26 (BOPP lainnya) sesuai dengan kesanggupan anda”. Hal ini semakin memperjelas keruwetan sistem menejerial di kampus Unsoed terlebih saat ada perbedaan antara apa yang dikatakan oleh rector dengan kebijakan panitia UM. Di lain hal, mahasiswa yang menganggap dirinya sebagai kaum intelektual yang bermoral akan tetap menolak segala bentuk komersialisasi pendidikan yang terjadi di kampus. (Arif)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar