“ Ayo maju maju, Ayo
maju maju, Ayo maju maju”. Barangkali sebagain orang membaca kalimat
pertama pada paragraf ini dengan nada baca yang datar dan biasa-biasa saja. Namun
semoga saja masih ada orang yang membacanya dengan nada ajakan yang semangat
sesuai nada pada lagu “Garuda Pancasila” yang menandakan bahwa lagu tersebut
masih familiar dan melekat di benak pembaca.
Semangat yang ingin ditularkan oleh Sudharnoto lewat
karangan lagunya tersebut memiliki makna yang cukup kuat. Ajakan untuk maju
bersama adalah seruan sosial kepada seluruh bangsa agar dapat bersama-sama
menggapai cita-cita bangsa dengan berpedoman pada Pancasila. Meskipun makna
tersebut merupakan interpretasi subjektif dari penulis.
Meski Pancasila sudah ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia, Secara subjektif dan tanpa dasar ilmiah penulis berpendapat bahwa tidak lebih dari separuh penduduk bangsa Indonesia memahami secara benar tentang Pancasila. Terlebih memahami butir-butir pancasila yang kini jumlahnya ada 45 butir sesuai dengan TAP MPR No. I/MPR/2003 setelah sebelumnya berjumlah 36 butir yang tertuang pada TAP MPR No. II/MPR/1978. Tentu warga negara yang memahaminya jumlahnya lebih sedikit lagi termasuk penulis yang baru mengetahui jumlah butir-butir pancasila sesaat sebelum menyusun opini subjektif ini.
Berkaca pada kondisi pragmatis bangsa ini, barangkali akan
lebih baik jika saya berkhusnudhon bahwa Pancasila yang sarat akan makna
disusun oleh pendiri bangsa ini bukanlah sekedar untuk dihafalkan. Lalu saya
mencoba untuk ‘ijtihad’ dengan berkhusnudhon bahwa setidaknya akan lebih baik
jika kita mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari meski kita
tidak hafal pancasila berikut butir-butirnya.
Selama proses "ijtihad" yang saya lalui dalam rangka menyelami
Pancasila, tak jarang muncul pertanyaan-pertanyaan yang terus meraung raung. Insiden
inharmonisasi antar umat beragama, konflik keberadaan rumah ibadah, hingga
kasus terorisme yang mengatasnamakan ataupun mendiskreditkan agama masih sesekali
muncul mengusik ketentraman bangsa ini. Lalu dimana sila Ketuhanan Yang Maha
Esa yang melandasi kehidupan bernegara kita jika bangsa ini masih ternodai oleh
konflik antar dan inter umat beragama?.
Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai bagian sila
selanjutnya, masih ternodai oleh maraknya tindakan-tindakan kriminal dan
asusila yang justru seakan semakin marak menghantui kehidupan bermasyarakat. Kemanakah
norma-norma yang selama ini kita junjung sebagai pengejawantahan dari manusia
yang beradab?.
Keutuhan bangsa ini setelah 70 tahun mengaku merdeka,
agaknya sudah mulai membaik, meski dalam perjalannya sebagian tanah air kita
terlepas dari keutuhan NKRI dan konflik-konflik separatis akhir-akhir ini sudah
berkurang. Tapi apakah Persatuan Indonesia sudah seutuhnya dijadikan sebagai
landasan kehidupan bangsa ini?. Akan susah kita menjawabnya jika masih kita
saksikan kerusuhan-kerusuhan antar suporter sepak bola, fanatisme kesukuan yang
berlebihan dan intervensi bangsa asing yang masih kasat mata memecah kesatuan
bangsa ini.
Lanjut kepada sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dari Sila ini kita tak perlu
ragu bahwa bangsa ini mengedepankan musyawarah dalam setiap pengambilan
keputusan. Namun musyarawah seperti apakah yang dijadikan jargon bangsa ini?. Saya
sendiri tidak cukup yakin bahwa setiap musyawarah pengambilan keputusan yang
dilakukan elite perwakilan rakyat dilandaskan pada kepentingan bangsa dan
masyarakat. Buktinya KPK masih rajin menangkap mafia perwakilan rakyat yang
menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan diri atau kelompoknya.
Dan di sila terkahir ini, Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia menjadi harapan yang teramat besar mengingat ketimpangan
pembangunan masih terjadi meski sudah mulai dibenahi. Penegakan hukum sudah
menjadi ujung tombak penyelsaian konflik meski masih ada penyelenggara hukum yang
memainkan peran licik. Serta ketimpangan perlakuan hukuman yang tak adil dan
sebanding antara koruptor dengan maling motor.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul diatas tak perlu dijawab diselembar kertasa layaknya soal ujian semester. Konteks yang terjadi akhirnya memunculkan pertanyaan skeptis, benarkah Pancasila adalah Ideologi bangsa, atau Pancasila adalah Tujuan bangsa yang akan terus kita kejar dan kita gapai?.
Tapi perlu kita ingat bahwa bangsa ini masih memiliki masa depan yang cerah selagi masih ada kepedulian dari setiap elemen bangsa. Forum diskusi dan kerukunan antar umat beragama sudah mulai bersemi di sana-sini. Penghuni jagad maya sudah sering mem-bully bagai siapa yang menghasut agama lain. Ini artinya masih ada potensi kerukunan antara umat beragama yang akan terjalin lebih kuat demi terwujudnya Ketuhanan Yang Maha Esa. Munculnya gerakan-gerakan kesalehan sosial menjadi angin segar bagi kuatnya Kemanusian yang adil dan beradab. Kepedulian generasi muda perihal persatuan dan keutuhan NKRI menjadi secercah harapan kesolidan bangsa ini menuju Persatuan Indonesia. Munculnya generasi-generasi muda yang transparan dalam menjalankan kepemimpinannya menjadikan optimisme besar terhadap Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Pertumbuhan ekonomi bangsa yang diinisiasi oleh keberadaan ekonomi kreatif dan umkm menjadi embrio terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setelah "ijtihad" yang saya lakukan akhirnya saya
perpendapat bahwa jika kita tak mampu mengamalkan seluruh nilai-nilai yang ada
pada Pancasila, maka tindakan terbaik yang kita lakukan adalah dengan menjalankan
peran kita sebaik-baiknya. Sebagai siswa sudah selakyaknya untuk terus rajin
menimba ilmu, patuh terhadap orang tua serta guru dan menghindari diri dari
tindakan yang menghambat proses belajar. Sebagai mahasiswa sudah selayaknya belajar,
memulai sosialisasi dan memsyarakatkan diri untuk melatih dan mempersiapkan
ketika sudah berkecimpung si masyarakat. Sebagai pegawai negeri sudah
selayaknya melayani masyarakat dan menyukseskan program-program bangsa ini. Bagi
pegawai swasta bekerjalah dengan tekun untuk mencapai karir yang didambakan
tanpa berbuat curang dengan harapan perusahaan akan memiliki keuntungan dan
dapat memberikan nilai tambah bagi devisa negara. Dan bagi aktifis-aktifis
kemasyarakatan, perjuangan kalian sangat ditunggu-tunggu masyarakat, maka
lakukanlah benar-benar untuk kepentingan masyarakat. Dan kepada
pemimpin-pemimpin bangsa ini, gunakanlah kepintaran yang dianugerahkan kepadamu
untuk mensejahterakan bangsa ini.
Mari kita sama-sama melakukan peran terbaik kita. Setidaknya
perbuatan baik yang kita lakukan dengan baik akan memberikan manfaat bagi
bangsa ini. Berbuat baik adalah cara terbaik untuk menjaga teguh Ideologi
Pancasila. Semoga Pancasila masih sebagai “Ideologi Bangsa” ini, bukan turun
tahta menjadi “Tujuan bangsa” ini yang artinya nilai-nilai pancasila masih
menjadi mimpi manis yang masih harus kita gapai setelah kita terbangun.
- Tulisan ini disusun sebagai pengingat pribadi dan sebagai bentuk kepedulian memperingati hari kelahiran Pancasila yang mulai diresmikan oleh Presiden Indonesia tiap tanggal 1 Juni -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar