Parodi by Prie GS
Seorang
ibu dengan lima anak, yang mengalami ketertekanan tidak hanya secara ekonomi
tapi juga secara kejiwaan, melempar bayinya ke sumur. Di dalam kemiskinan yang
pengap itu, ia tak kuat menhan hinaan paling lembut sekalipun: terlalu sering
melahirkan, begitu ledek salah seorang tetangga. Si ibu ini kemudian menekan
angka kelahiran dengan cara yang tak terduga: membunuh bayinya.
Sekenario
pengelabuan ibu yang sederhana ini juga sederhana: berteriak ke seantero
kampung bahwa bayinya lenyap begitu saja. Spekulasi yang ia harapkan terbukti,
genderuwo adalah tersangka pertamanya. Ini sekenario yang amat tua bagi
masyarakat rural agraris kita.
Setiap ada yang hilang, terutama anak hilang, selalu genderuwo dijadikan biang keroknya. Dan sekenario ini ternyata masih hidup di pojokan sebuah kota besar tempat ibu itu tinggal.
Setiap ada yang hilang, terutama anak hilang, selalu genderuwo dijadikan biang keroknya. Dan sekenario ini ternyata masih hidup di pojokan sebuah kota besar tempat ibu itu tinggal.
Hampir saja
cerita tersebut berhenti dengan genderuwo sebagai pusat persoalan sampai
kemudian seorang tetangga menemukan bayi nahas ini di dalam sumur. Sekenario
ibu ini langsung rusak dan polisi bergerak cepat. Tak butuh waktu lama untuk
memberangus seorang ibu yang pada dasarnya memang bukan seorang kriminal itu.
Tapi
adakah persoalan ini benar-benar akan menjadi ranah hukum kalau saja bayi itu tak
ditemukan?. Besar kemungkinan tidak. Kasus ini bida jadi akan berhenti di
tingkat genderuwo sebagai tersangka tunggal. Argumentasi pendukungnya jelas;
yang menggagalkan peran genderuwo ini bukanlah naluri investigasi kita, karena
berpikir ke arah sana bukan kecenderungan kita. Si penggagal itu tak lebih dari
ketidaksengajaan belaka: karena bayi itu
ditemukan secara tak sengaja. Jadi, sangat tergantung pada ketidaksengajaan
itulah kebiasaan kita.
Modal
ketidaksengajaan ini tentu tak sepenuhnya buruk. Tapi bandingkan dengan modal
sengaja, pasti jauh berbeda hasilnya. Dengan modal sengaja, sekenario tentang
genderuwo itu meskipun ada, pasti tidak akan menempati urutan yang pertama.
Urutan pertama pasti akan ditempai oleh budaya verifikasi dan akal sehat. Budaya
ini akan mencegah hidup seseorang dari spekulasi yang tidak perlu dan juga
berbahaya; sudah berapa kali genderuwo itu menjadi korban fitnah seperti ini?
Dengan
modal ketidaksengajaan, kebakaran hutan misalnya, pasti baru akan padam setelah
turun hujan. Sementara menunggu hujan itu turun, napas penduduk keburu sesak
dan negeri tetangga keburu sewot.
Tapi
dengan modal sengaja, sekenario peadaman pasti jauh lebih cepat. Apalagi
kebakaran hutan itu telah menjadi pola. Ia sudah sulit disebut sebagai musibah
melainkan sudah seperti hobi saja karena rutin terjadi. Dengan modal
kesengajaan, prosedur pemadaman pasti lebih terencana. Begitu dibutuhkan, ia
pasti bersiaga. Begitu juga dengan pemberantasan korupsi. Pasti akan lambat
sekali diatasi kalau cuma menunggu pelakunya tertangkap basah. Agar air terus
mengalir, ia tak harus menunggu sang hujan hadir.
(Suara Merdeka. Edisi: Juni 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar