Selasa, 09 Juli 2013

GENDERUWO YANG GAGAL

Parodi by Prie GS


     Seorang ibu dengan lima anak, yang mengalami ketertekanan tidak hanya secara ekonomi tapi juga secara kejiwaan, melempar bayinya ke sumur. Di dalam kemiskinan yang pengap itu, ia tak kuat menhan hinaan paling lembut sekalipun: terlalu sering melahirkan, begitu ledek salah seorang tetangga. Si ibu ini kemudian menekan angka kelahiran dengan cara yang tak terduga: membunuh bayinya.
        Sekenario pengelabuan ibu yang sederhana ini juga sederhana: berteriak ke seantero kampung bahwa bayinya lenyap begitu saja. Spekulasi yang ia harapkan terbukti, genderuwo adalah tersangka pertamanya. Ini sekenario yang amat tua bagi masyarakat rural agraris kita.
Setiap ada yang hilang, terutama anak hilang, selalu genderuwo dijadikan biang keroknya. Dan sekenario ini ternyata masih hidup di pojokan sebuah kota besar tempat ibu itu tinggal.
Hampir saja cerita tersebut berhenti dengan genderuwo sebagai pusat persoalan sampai kemudian seorang tetangga menemukan bayi nahas ini di dalam sumur. Sekenario ibu ini langsung rusak dan polisi bergerak cepat. Tak butuh waktu lama untuk memberangus seorang ibu yang pada dasarnya memang bukan seorang kriminal itu.
            Tapi adakah persoalan ini benar-benar akan menjadi ranah hukum kalau saja bayi itu tak ditemukan?. Besar kemungkinan tidak. Kasus ini bida jadi akan berhenti di tingkat genderuwo sebagai tersangka tunggal. Argumentasi pendukungnya jelas; yang menggagalkan peran genderuwo ini bukanlah naluri investigasi kita, karena berpikir ke arah sana bukan kecenderungan kita. Si penggagal itu tak lebih dari ketidaksengajaan  belaka: karena bayi itu ditemukan secara tak sengaja. Jadi, sangat tergantung pada ketidaksengajaan itulah kebiasaan kita.
                Modal ketidaksengajaan ini tentu tak sepenuhnya buruk. Tapi bandingkan dengan modal sengaja, pasti jauh berbeda hasilnya. Dengan modal sengaja, sekenario tentang genderuwo itu meskipun ada, pasti tidak akan menempati urutan yang pertama. Urutan pertama pasti akan ditempai oleh budaya verifikasi dan akal sehat. Budaya ini akan mencegah hidup seseorang dari spekulasi yang tidak perlu dan juga berbahaya; sudah berapa kali genderuwo itu menjadi korban fitnah seperti ini?
                Dengan modal ketidaksengajaan, kebakaran hutan misalnya, pasti baru akan padam setelah turun hujan. Sementara menunggu hujan itu turun, napas penduduk keburu sesak dan negeri tetangga keburu sewot.
                Tapi dengan modal sengaja, sekenario peadaman pasti jauh lebih cepat. Apalagi kebakaran hutan itu telah menjadi pola. Ia sudah sulit disebut sebagai musibah melainkan sudah seperti hobi saja karena rutin terjadi. Dengan modal kesengajaan, prosedur pemadaman pasti lebih terencana. Begitu dibutuhkan, ia pasti bersiaga. Begitu juga dengan pemberantasan korupsi. Pasti akan lambat sekali diatasi kalau cuma menunggu pelakunya tertangkap basah. Agar air terus mengalir, ia tak harus menunggu sang hujan hadir.
(Suara Merdeka. Edisi: Juni 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar