Keterbatasan jumlah lahan produktif di Indonesia bukan lagi merupakan wacana, akan tetapi sudah menjadi sebuah kenyataan. Penggunaan lahan secara terus-menerus tanpa usaha pemeliharaan kesuburan tanah dinilai menjadi penyebab berkurangnya lahan produktif. Selain itu, alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian seperti perumahan dan wilayah industri juga turut andil mengurangi ketersediaan lahan pertanian produktif.
Menurut Hardjowigeno et.al (1999), pandangan bahwa tanah semata-mata merupakan faktor utama produksi, cenderung mengabaikan pemeliharaan kelestarian tanah padahal tanah merupakan sumberdaya yang hampir tidak terbaharui. Tanah juga mempunyai kemampuan terbatas terhadap pemberian daya dukung bagi kehidupan manusia terutama berkaitan dengan pertumbuhan tanaman.
Berdasarkan pada kondisi lahan yang memiliki keterbatasan penggunaan serta keterbatasan jumlah luas lahan produktif, maka diperlukan suatu teknologi tepat guna untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Salah satu teknologi yang dapat diterapkan adalah dengan melakukan pertanaman tanpa menggunakan media tanam dari tanah.
Usaha budidaya komoditas hortikultura menurut sebagian kalangan merupakan usaha yang penuh dengan resiko karena riskan terjadi kegagalan produksi akibat ketergantungan tinggi terhadap lingkungan terutama cuaca. Pada musim yang tidak menguntungkan dapat mengakibatkan naiknya harga beberapa komoditas hortikultura akibat kelangkaan produk di pasaran. Oleh karena itu, perlu ada terobosan teknologi untuk menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.
Alternatif usaha budidaya komoditas hortikultura dengan modal usaha yang relatif kecil dapat dilakukan dengan membudidayakan kangkung. Budidaya kangkung merupakan budidaya yang tidak banyak membutuhkan modal usaha karena biaya produksi dapat ditekan melalui berbagai tindakan budidaya, serta didukung kemampuan kangkung untuk mudah tumbuh di berbagai lingkungan yang berbeda. Prospek usaha budidaya kangkung semakin terlihat melalui banyaknya usaha-usaha kuliner yang menawarkan aneka masakan olahan kangkung. Beberapa jenis olahan kangkung menjadi menu andalan restoran dan rumah makan. Permintaan kangkung terus meningkat seiring perkembangan pertumbuhan penduduk serta perilaku konsumsi masyarakat yang semakin berganti kearah vegetarian, meskipun harga jual kangkung tidak terlalu tinggi.
Menurut Badan Pusat Statistik (2009), produksi kangkung nasional terus mengalami fluktuasi dari tahun 2006 sampai tahun 2009. Pada tahun 2007 terjadi peningkatan produksi sebesar 42.136 ton dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 292.950 ton. Kenaikan produksi juga terjadi pada tahun 2009 sebesar 37.235 ton dari tahun sebelumnya yang mencapai 323.757 ton. Peningkatan produksi diprediksi disebabkan karena permintaan kangkung yang meningkat sehingga petani kangkung meningkatkan kuantitas produksinya.
Perubahan kondisi global juga terjadi pada bergesernya pola iklim. Perubahan pola iklim global mengakibatkan berkurangnya ketersediaan air, baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini mendorong bekembangnya teknologi produksi tanaman dalam lingkungan terkendali (Controled Environment Agriculture = CEA). Sementara itu kegiatan produksi hortikultura dituntut harus dapat menghasilkan produk yang dapat memenuhi syarat kuantitas, kualitas, kontinuitas, dan kompetitif atau daya saing. Konsekuensi dari kondisi tersebut menuntut adanya pengembangan teknologi maju yang dapat menghasilkan produk berkualitas sepanjang tahun (Susila, 2009).
Peningkatan permintaan kangkung, tidak didukung oleh meningkatnya jumlah lahan produktif untuk budidaya kangkung. Oleh karena itu, perlu diterapkan teknologi untuk meningkatkan produksi kangkung tanpa terpengaruh oleh minimnya lahan produktif. Salah satu teknologi yang dapat diterapkan adalah teknologi budidaya dengan sistem hidroponik, yaitu menanam tanaman dengan tanpa menggunakan media tanam dari tanah.
Prinsip dasar dari sistem hidroponik adalah memberi asupan nutrisi yang lengkap untuk tanaman seperti nutrisi yang tersedia di dalam tanah. Dengan pemberian nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, maka tanaman akan dapat tumbuh normal seperti pada penanaman di media tanam tanah. Oleh karena itu, beberapa kalangan menyebut sistem hidroponik sebagai soilless culture atau budidaya tanpa tanah (Karsono et.al, 2002).
REFERENSI
Badan Pusat Statistik. 2009. Produksi Sayuran Di Indonesia (On-Line). http://www.bps.go.id/tab_sub/excel.php?id_subyek=55%20¬ab=15. diakses 13 Januari 2011
Hardjowigeno, S., Widiatmaka, dan Anang S. Yogaswara. 1999. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor . 287 hal.
Karsono, Sudibyo, Sudarmojo, dan Yos Sutiyoso. 2002. Hidroponik Skala Rumah Tangga. Agromedia Pustaka. Jakarta. 64 hal.
Susila, Anas D. 2009. Pengembangan Teknologi Maju untuk Meningkatkan Produksi Sayuran Berkualitas Sepanjang Tahun. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. http://vegetable2009.files.wordpress.com/2009/02/advanced-technology-pada-produksi-tanaman-sayuran1.pdf. Diakses 13 Januari 2011.
Ndhunn..
BalasHapusAlamat email lo apa sihh..
www.chozyworld.blogspot.com