Hidroponik, ditemukan pada awal tahun 1930, secara sederhana diartikan sebagai budidaya tanaman pada media air yang mengandung nutrisi esensial. Menurut pandangan lain, hidroponik merupakan teknik budidaya pada media tanpa tanah yang memiliki elemen nutrisi esensial dari pemberian larutan nutrisi. Lebih lanjut, dalam sistem lingkungan budidaya yang terkendali (CEA) sistem hidroponik diterapkan melalui sistem larutan dan sistem substrat (Swiader dan George, 2002).
Hidroponik substrat pada umumnya menggunakan media alami maupun buatan atau campuran antara keduanya. Beberapa bahan alami yang dapat digunakan sebagai media perakaran adalah pasir, kerikil, dan serbuk gergaji, sedangkan media dari bahan buatan seperti vermikulit, rockwool, dan polystyrene. Media tanam substrat rockwool merupakan media yang paling banyak digunakan. Rockwool merupakan serat material sintetik yang memiliki kapasitas menahan air yang tinggi. Menurut American Geological Institute (1976) dalam Notohadinegoro (2006), rockwool berbentuk menyerupai wol berupa anyaman serat-serat halus yang dibuat dari terak-tanur (furnace slag) atau batuan tertentu dengan ledakan kuat selagi bahan-bahan tersebut berada dalam keadaan lelehan. Bahan tersebut mudah basah dan memiliki ruang udara yang baik (Swiader dan George, 2002).
Selain hidroponik substrat, terdapat pula sistem hidroponik larutan yang terdiri atas tiga teknik, yaitu:
1) Aeroponik.
Merupakan teknik menumbuhkan tanaman dengan akar yang tergantung di udara dan menyemprotkan kepada akar secara terus menerus dengan larutan nutrisi melalui sprayer.
2) Nutrient Film Technique (NFT).
Teknik ini ditemukan oleh The Glasshouse Research Institute, Inggris pada tahun 1970. Tanaman ditumbuhkan pada parit yang sedikit landai atau pada talang plastik. Larutan nutrisi mengalir mengikuti kemiringan, menempel pada akar, kemudian keluar kembali menuju tempat penampungan larutan. Peningkatan dan penurunan kemiringan dilakukan untuk mengatur laju aliran larutan yang melalui akar dan mengikat oksigen untuk kebutuhan akar tanaman.
3) Teknik Rakit Apung.
Teknik ini berbeda dengan NFT, dan cenderung memanfaatkan genangan larutan nutrisi untuk pertumbuhan tanaman. Supaya tanaman tidak tenggelam kedalam kolam larutan, tanaman ditopang menggunakan rakit dari polystyrene atau gabus (Swiader dan George, 2002).
Faktor utama penentu keberhasilan sistem hidroponik adalah penggunaan larutan nutrisi. Pada umunya, larutan nutrisi mengandung semua elemen nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Konsentrasi nutrisi spesifik bervariasi tergantung dari jenis tanaman, media tanam, dan sistem pertumbuhan yang digunakan. Keasaman larutan juga perlu diperhatikan pada saat pembuatan larutan nutrisi. Keasaman larutan atau pH yang umum digunakan pada banyak jenis tanaman adalah 5,5 – 6,5. Pengawasan terhadap larutan juga perlu dilakukan untuk mengetahui kelengkapan komposisi nutrisi maupun peningkatan pH yang biasa terjadi pada saat pertumbuhan tanaman. Pada beberapa lokasi, konsentrasi beberapa elemen seperti kalsium, sodium, sulfat, klorida, dan bikarbonat pada larutan dapat menjadi penghambat pertumbuhan tanaman yang cukup berat. Biasanya, hal tersebut dapat di kendalikan dengan perlakuan terhadap air seperti penyaringan, meningkatkan pertukaran ion, dan menambahkan beberapa bahan kimia lain (Swiader dan George, 2002).
Berdasarkan kebutuhan lingkungan dari sistem hidroponik, sistem tersebut akan lebih baik jika dikembangkan pada lingkungan yang terkendali. Menurut Swiader dan George (2002), lingkungan budidaya yang terkendali (CEA) merupakan konsep modifikasi lingkungan alami untuk pertumbuhan tanaman yang optimum. Yaitu dengan penggabungan manipulasi udara, temperatur pada zona perakaran, kelembapan relatif, radiasi matahari, laju pertukaran udara, konsentrasi karbon dioksida pada atmosfer, konsentrasi oksigen pada zona perakaran (aerasi), serta nutrisi untuk mengontrol pertumbuhan tanaman. Sasaran CEA adalah untuk mengurangi ketergantungan terhadap iklim dan air serta untuk membiarkan tanaman dapat berproduksi pada lingkungan alami yang terbatas dan menghambat pertumbuhan tanaman.
Kelembapan relatif yang dibutuhkan pada sistem hidroponik umumya sebesar 75%. Kelembapan yang terlalu rendah, sementara evapotranspirasi berlangsung terus menerus, maka tanaman akan kehilangan air dalam jumlah banyak, sehingga turgor (tekanan sel) akan melemah dan tanaman menjadi layu. Menurut Sutiyoso (2004) jika kelembapan terlalu tinggi, evapotranspirasi dan daya serap akar tanaman untuk mendapatkan nutrisi akan berkurang. Kondisi ini dapat menyebabkan tanaman mengalami gejala etiolasi, yakni tangkai lemah dan helaian daun tertekuk ke bawah (Karsono et.al, 2002).
Sebagai sumber kehidupan, cahaya diperlukan tanaman untuk kegiatan fotosintesis. Spektrum cahaya yang dianfaatkan oleh tanaman dan yang kasat mata adalah gelombang pendek violet hingga gelombang panjang merah. Tanaman juga memerlukan cahaya yang tidak kasat mata berupa cahaya ultra violet dan infra merah (Karsono et.al, 2002). Kekurangan cahaya akibat kondisi lingkungan dapat dikompensasikan dengan pemasangan lampu yang mengandung sinar ultra violet atau sinar infra merah. Menurut Swiader dan George (2002), penambahan pencahayaan dengan menggunakan High-Intensity Discharge (HID) sodium vapor lights, dapat mengurangi umur pemanenan tanaman berkisar antara 30 – 36 hari.
REFERENSI
Karsono, Sudibyo, Sudarmojo, dan Yos Sutiyoso. 2002. Hidroponik Skala Rumah Tangga. Agromedia Pustaka. Jakarta. 64 hal.
Notohadinegoro, Tejoyuwono. 2006. Faktor Tanah dalam Pengembangan Hortikultura. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Dies Natalis ke-40 UPN “Veteran” Yogyakarta, Yogyakarta, 5 Desember 1998.
Sutiyoso, Yos. 2004. Hidroponik ala Yos. Panebar Swadaya. Jakarta.
Swiader, John M., dan George W. Ware. 2002. Producing Vegetable Crops. Interstate Publisher, Inc. Illinois.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar