Minggu, 16 September 2012

Kembalikan Air pada Tempatnya


sumber gambar : click this
“Bengawan solo riwayatmu kini
Sedari dulu jadi perhatian insani
Musim kemarau tak seberapa airmu
Dimusim hujan air mengalir sampai jauh...
.... Dan akhirnya kelaut”

Sepetik syair dari lagu karya gesang sang maestro keroncong mengingatkan betapa pentingnya kawasan yang terjaga ketersediaan airnya. Tentu kita sepakat bahwa lingkungan yang baik adalah lingkungan yang masih tersedia cukup air untuk kebutuhan makhluk hidup. Air yang tidak segera mengalir ke sungai setelah hujan dan serta merta mengalir begitu saja ke laut. Air yang menjadi harapan adalah air yang tetap tersedia dikala musim kemarau, serta tak ada limpahan air bah dikala hujan melimpah.

Sebaik itulah seharusnya kondisi air di bumi kita. Disadari atau tidak, sebagian besar aktifitas manusia akan berdampak pada perubahan keseimbangan lingkungan. Entah positif maupun negatif, dampak tersebut pasti akan muncul. Parahnya, jika dampak negatif cenderung lebih dominan, maka tidak salah untuk kita berfikir ulang terhadap aktifitas-aktifitas yang kita lakukan. Kondisi di Bali seperti yang diberitakan website VoA pada tanggal 07 September 2012 yang bertajuk “Eksploitasi Sumber Daya Air di Bali Sebabkan Krisis, patut kita jadikan cermin ancaman krisi air.

Kurangnya ketersediaan air bersih menjadi isu yang patut kita cermati. Sebagai negara yang memiliki iklim tropis basah, kekurangan air menjadi peristiwa yang nadir. Dengan kondisi hutan yang berlimpah serta musim penghujan yang cukup lama menjadikan Indonesia seharusnya mampu terpenuhi kebutuhan air bersih dikala musim kemarau tiba.

Akan tetapi, perilaku yang tidak selaras dengan alam itulah yang memicu krisis air bersih. Krisis air yang terjadi di Bali menandakan telah terjadi ketidak seimbangan alam akibat aktifitas manusia yang yang tidak seimbang. Kasus tersebut ditandai dengan berkurangnya debit air pada lebih dari 200 Daerah Aliran Sungai (DAS), serta terjadinya intrusi di beberapa kawasan akibat eksploitasi air bawah tanah di Pulau Dewata itu.

Disebutkan pula bahwa eksploitasi air terjadi melebihi kapasitas hidrologi. Artinya, pengambilan air dari dalam tanah tidak sebanding dengan banyaknya air yang masuk kembali ke dalam tanah. Kondisi semacam ini dapat memberikan efek jangka panjang berupa kelangkaan air serta intrusi air laut di daerah sekitar pantai. Bahkan bisa jadi kebakaran hutan seperti yang diberitakan situs resmi VoA edisi 7 September 2012 bertajuk “160 Hektar Hutan di Bali Hangus Terbakar” disebabkan air tanah yang hilang di  areal hutan terlalu cepat mengering akibat eksploitasi air bawah tanah. Sehingga kapasitas air yang mampu diserap tanaman tidak cukup mengisi seluruh bagian tanaman.

Krisis air yang terjadi tersebut jelas sekali terjadi akibat perilaku manusia. Tentu akan lebih arif jika manusia yang kembali memulihkan keadaan tersebut. Banyak jalan menuju Roma, banyak cara pula menyiasatinya. Eksploitasi air sebagian dilakukan dengan cara mengambil air dari bawah tanah, artinya harus ada kegiatan ataupun teknologi yang mampu mengembalikan lagi air ke dalam tanah.

Kegiatan pengembalian air dapat berupa meningkatkan luasan daerah penangkap air (water catchment area). Daerah penangkapan air dapat berupa hamparan lahan yang ditumbuhi berbagai macam tumbuhan. Baik berupa tumbuhan kayu maupun tumbuhan semak, perdu atau rerumputan. Adanya kawasan ini dapat memperbanyak jumlah air yang meresap ke dalam tanah. Daerah semacam ini juga sering disebut sebagai istilah Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Melalui skala yang lebih kecil. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk menghemat konsumsi air adalah dengan menerapkan sistem penangkapan atau pemanfaatan air hujan. Kegiatan tersebut dapat diterapkan dengan membuat sumur resapan di setiap bangunan terutama perhotelan dan sejenisnya. Kaitannya dengan kondisi krisis air yang diperkirakan akan melanda Bali, konsep ini pantas untuk diterapkan. Yaitu dengan mewajibkan setiap penyedia layanan akomodasi pariwisata unntuk memiliki ruang penyimpan air hujan di setiap bangunan.
Kolam renang di Bali adalah salah satu sumber eksploitasi air yang menyebabkan krisis air tanah. (Foto: VOA/Muliarta)

Regulasi yang yang mengikat juga perlu disusun untuk mendukung kegiatan penghematan air seperti yang diungkapkan salah satu narasumber berita yaitu dengan memberlakukan kuota pembatasan penggunaan air bagi akomodasi pariwisata. Tidak terlupakan pula aspek yang sangat penting yaitu kesadaran masyarakat untuk menggunakan air secara hemat.

Perilaku bijak terhadap pengelolaan sumber daya alam khususnya air tentu tidaklah merugikan. Justru akan memberikan efek positif jangka panjang. Maka pengelolaan air secara bijak akan membuat kita tak lagi khawatir dihantui banjir. Tak lagi merana dikala kemarau melanda. Kini saatnya kita kembalikan air pada tempatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar