sumber gambar : click this |
“Bengawan
solo riwayatmu kini
Sedari
dulu jadi perhatian insani
Musim
kemarau tak seberapa airmu
Dimusim
hujan air mengalir sampai jauh...
.... Dan
akhirnya kelaut”
Sepetik syair dari lagu karya
gesang sang maestro keroncong mengingatkan betapa pentingnya kawasan yang
terjaga ketersediaan airnya. Tentu kita sepakat bahwa lingkungan yang baik
adalah lingkungan yang masih tersedia cukup air untuk kebutuhan makhluk hidup. Air
yang tidak segera mengalir ke sungai setelah hujan dan serta merta mengalir
begitu saja ke laut. Air yang menjadi harapan adalah air yang tetap tersedia dikala
musim kemarau, serta tak ada limpahan air bah dikala hujan melimpah.
Sebaik itulah seharusnya kondisi
air di bumi kita. Disadari atau tidak, sebagian besar aktifitas manusia akan
berdampak pada perubahan keseimbangan lingkungan. Entah positif maupun negatif,
dampak tersebut pasti akan muncul. Parahnya, jika dampak negatif cenderung lebih
dominan, maka tidak salah untuk kita berfikir ulang terhadap
aktifitas-aktifitas yang kita lakukan. Kondisi di Bali seperti yang diberitakan
website VoA pada tanggal 07 September 2012 yang bertajuk “Eksploitasi Sumber Daya Air di Bali Sebabkan Krisis”,
patut kita jadikan cermin ancaman krisi air.
Kurangnya ketersediaan air bersih
menjadi isu yang patut kita cermati. Sebagai negara yang memiliki iklim tropis
basah, kekurangan air menjadi peristiwa yang nadir. Dengan kondisi hutan yang berlimpah
serta musim penghujan yang cukup lama menjadikan Indonesia seharusnya mampu
terpenuhi kebutuhan air bersih dikala musim kemarau tiba.
Akan tetapi, perilaku yang tidak
selaras dengan alam itulah yang memicu krisis air bersih. Krisis air yang
terjadi di Bali menandakan telah terjadi ketidak seimbangan alam akibat
aktifitas manusia yang yang tidak seimbang. Kasus tersebut ditandai dengan
berkurangnya debit air pada lebih dari 200 Daerah Aliran Sungai (DAS), serta terjadinya
intrusi di beberapa kawasan akibat eksploitasi air bawah tanah di Pulau Dewata
itu.
Disebutkan pula bahwa eksploitasi
air terjadi melebihi kapasitas hidrologi. Artinya, pengambilan air dari dalam
tanah tidak sebanding dengan banyaknya air yang masuk kembali ke dalam tanah.
Kondisi semacam ini dapat memberikan efek jangka panjang berupa kelangkaan air
serta intrusi air laut di daerah sekitar pantai. Bahkan bisa jadi kebakaran
hutan seperti yang diberitakan situs resmi VoA edisi 7 September 2012 bertajuk “160 Hektar Hutan di Bali Hangus Terbakar” disebabkan air tanah yang hilang di areal hutan terlalu cepat
mengering akibat eksploitasi air bawah tanah. Sehingga kapasitas air yang mampu
diserap tanaman tidak cukup mengisi seluruh bagian tanaman.
Krisis air yang terjadi tersebut
jelas sekali terjadi akibat perilaku manusia. Tentu akan lebih arif jika
manusia yang kembali memulihkan keadaan tersebut. Banyak jalan menuju Roma,
banyak cara pula menyiasatinya. Eksploitasi air sebagian dilakukan dengan cara
mengambil air dari bawah tanah, artinya harus ada kegiatan ataupun teknologi
yang mampu mengembalikan lagi air ke dalam tanah.
Kegiatan pengembalian air dapat
berupa meningkatkan luasan daerah penangkap air (water catchment area).
Daerah penangkapan air dapat berupa hamparan lahan yang ditumbuhi berbagai
macam tumbuhan. Baik berupa tumbuhan kayu maupun tumbuhan semak, perdu atau
rerumputan. Adanya kawasan ini dapat memperbanyak jumlah air yang meresap ke
dalam tanah. Daerah semacam ini juga sering disebut sebagai istilah Ruang
Terbuka Hijau (RTH).
Melalui skala yang lebih kecil. Kegiatan
yang dapat dilakukan untuk menghemat konsumsi air adalah dengan menerapkan
sistem penangkapan atau pemanfaatan air hujan. Kegiatan tersebut dapat
diterapkan dengan membuat sumur resapan di setiap bangunan terutama perhotelan
dan sejenisnya. Kaitannya dengan kondisi krisis air yang diperkirakan akan
melanda Bali, konsep ini pantas untuk diterapkan. Yaitu dengan mewajibkan
setiap penyedia layanan akomodasi pariwisata unntuk memiliki ruang penyimpan
air hujan di setiap bangunan.
Kolam renang di Bali adalah salah satu sumber eksploitasi air yang menyebabkan krisis air tanah. (Foto: VOA/Muliarta) |
Regulasi yang yang mengikat juga
perlu disusun untuk mendukung kegiatan penghematan air seperti yang diungkapkan
salah satu narasumber berita yaitu dengan memberlakukan kuota pembatasan
penggunaan air bagi akomodasi pariwisata. Tidak terlupakan pula aspek yang
sangat penting yaitu kesadaran masyarakat untuk menggunakan air secara hemat.
Perilaku bijak terhadap
pengelolaan sumber daya alam khususnya air tentu tidaklah merugikan. Justru
akan memberikan efek positif jangka panjang. Maka pengelolaan air secara bijak
akan membuat kita tak lagi khawatir dihantui banjir. Tak lagi merana dikala
kemarau melanda. Kini saatnya kita kembalikan air pada tempatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar