Demokrasi. Dari rakyat, oleh
rakyat, untuk rakyat. Slogan yang acap kali dimasivkan disaat mata pelajaran
pendidikan Kewarganegaraan. Bahkan sejak Sekolah dasar, hingga SMA slogan itu
tak habis-habisnya
didengungkan. Tapi, slogan itu tak ubahnya pepesan kosong, yang tak memberikan
kebenaran realistis tentang bagaimana seharusnya posisi rakyat disuatu Negara
yang katanya menyandang demokrasi.
Slogan itu tak lagi manis
terdengar. Bahkan menyakitkannya lagi, kini slogan itu telah berubah menjadi,
dari rakyat, oleh rakyat, untuk pejabat. Bukan suatu yang berlebihan klo kita
cermati. Lihat saja, wacana pembangunan gedung baru DPR yang mewah tentu menuai
protes dari berbagai kalangan. Seperti tidak ada rasa empati sedikitpun di
benak para anggota dewan, disaat kinerja buruk menjadi prestasi, malahan gedung
baru yang menjadi kesepakatan fraksi-fraksi.
Penilaian moral macam apa yang
mereka gunakan. Mengaku sebagai wakil rakyat, tapi mendengar aspirasi rakyat
pun telinga semakin tertutup rapat. Mau dibawa kemana suara rakyat. Suara yang
mengantarkan anggota dewan mengenyam empuknya kursi di parlemen. Disaat rakyat
menjerit, beramai-ramai mereka menampik. Disaat pemilu digelar, janji-janji terdengar begitu mrnggrlrgar. Mereka berbondong-bondong mengobral janji pahit yang terlihat manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar