Mencapai sebuah kemenangan dapat
ditempuh melalui dua jalan, lemahkan lawan atau tingkatkan kekuatan.
Menariknya, langkah pertama seringkali menjadi pilihan favorit untuk mencapai
sebuah tujuan bernama “kemenangan”. Entah kemenangan seperti apa yang jelas
berujung pada perolehan keuntungan, baik secara moril maupun materil.
Langkah yang demikian itupula
yang mungkin dipilih mereka “pemegang” suara rakyat yang bernama Dewan
perwakilan Rakyat (DPR) untuk melicinkan ambisinya. Banyak hal yang bisa
dijadikan tolak ukur mengenai perihal tersebut. Misalkan saja pengambilan
keputusan mengenai hak angket pajak yang beberapa waktu lalu menjadi perdebatan
sengit diantara anggota dewan. Sebagian mereka menolak pembentukan panitia hak angket
pajak dengan alasan sudah ada satgas pemberantasan mafia pajak yang sudah
bekerja. Akan tetapi itu alasan yang mereka utarakan didepan sorotan media,
apakah memang itu alasan sebenarnya atau justru mereka khawatir jikalau kedok
mereka terbongkar.
Sebagian lainnya mendukung
pembentukan panitia angket mafia pajak dengan alasan ingin membuktikan siapa
yang sesungguhnya bersalah. Akan tetapi, lagi-lagi pernyataan itulah yang
mereka lontarkan didepan khayalak ramai. Permasalahannya adalah apakah itu menjadi
landasan pemikiran mereka, bisa jadi pembentukan panitia hak angket
dipergunakan sebagai media “cuci tangan” bagi mereka yang (merasa) bersalah.
Seperti itulah kesibukan para
anggota dewan, memanjakan diri dengan beragam fasilitas mewah yang diperoleh
dan berkelit saling ungkit tatkala eksistensinya terusik. Anehnya peristiwa itu
kembali terulang saat ini, meski dengan tema yang beerbeda yaitu revisi
undang-undang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Ada beberapa hal unik yang
bisa kita lirik, ujung-ujungnya bisa membuat dahi kita mengernyit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar