Senin, 28 November 2011

Skripsi: Ketika Idealisme Dikorbankan


Skripsi tidak ubahnya sebuah karya ilmiah. Pastinya wajib dipertanggung jawabkan oleh siapa saja yang menyusunnya. Sebagai bentuk tugas akhir, terkadang pelaksanaannya dilakukan dengan berbagai cara. Entah cara yang baik maupun yang dianggap baik.

Proses penyusunan skripsi bisa dibilang suatu proses yang sakral. Karena hanya akan dilakukan sekali selama jenjang studi. Hasilnya pun seringkali menjadi kebanggaan luar biasa. Akan tetapi pada prosesnya, tidak semua mahasiswa memaknai sama tentang skripsi. Tuntutan untuk lekas menyelesaikan studi menjadi alasan mengapa mereka menganggap pantas jalan pintas.
Paradigma semacam itu telah banyak mewarnai pola pikir mahasiswa saat ini. Sudah terbiasa merasakan zona nyaman, menjadi pemantik api kemalasan. Ironisnya, perilaku semacam itu sudah terbawa sejak lama. Melalui kebiasaan mencontek, rasa percaya diri itu kian cethek.
Berbicara skripsi adalah berbicara “idealisme”. Tidak sedikit mahasiswa yang menempuh waktu kuliah cukup lama lantaran kesulitan menyusun skripsi. Jangankan menyusun skripsi, sekedar untuk menentukan topik skripsi saja terkadang memerlukan waktu lama. Bahkan waktu satu semester bisa jadi hanya digunakan untuk memikirkan topik penelitian. Hasilnya, jika mahasiswa itu memiliki idealisme yang tinggi, seberapa pun sulitnya topik skripsi itu tetap akan ia jalani. Nyatanya, tidak sedikit dari kita yang akhirnya terpaksa menurunkan level idealismenya atau bahkan mengorbankan idealisme kita bahkan saya juga untuk melaksanakan skripsi tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ia kehendaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar