Jumat, 02 Desember 2011

Budidaya Kangkung Dengan Sistem Hidroponik

Penerapan sistem hidropinik pada budidaya kangkung merupakan pilihan tepat pada kondisi saat ini. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sosial masyarakat setempat serta banyaknya jumlah permintaan sayur terutama kangkung. Gaya hidup masyarakat saat ini cenderung beralih menjadi pola hidup konsumtif yang mulai memilih produk dengan kualitas tertentu misalnya produk dengan label organik . Oleh karena itu, produk hasil pertanaman dengan sistem hidropinik juga dapat dijadikan sebagai nilai jual tersendiri. Kemudahan dalam pengelolaan jenis nutrisi yang diberikan juga lebih mudah dibanding dengan sistem tanam konvensional (Kohar et.al, 2004).
Kebutuhan kangkung terhadap asupan nutrisi pada sistem hidroponik tidak jauh berbeda dengan sistem pertanaman konvensional. Hanya saja dalam sistem hidroponik, nutrisi yang diberikan sudah dalam bentuk larutan dan tersedia bagi tanaman. Kebutuhan tanaman terhadap nutrisi menurut Powers dan Robert (1999) bervariasi tergantung dari jenis tanamannya. Pada dasarnya unsur essensial merupakan unsur yang paling dibutuhkan pada pertumbuhan tanaman. Unsur essensial digolongkan menjadi dua yaitu makronutrisi yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak, dan mikronutrisi yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit. Pertumbuhan tanaman beragam tergantung pada jumlah atau konsentrasi nutrisi yang diberikan. Respon yang muncul juga dipengaruhi oleh bentuk partikel nutrisi, jenis tanaman serta kondisi lingkungan setempat.

Pembuatan nutrisi untuk sistem hidroponik juga harus memperhatikan jenis nutrisi yang digunakan serta hubungan antar nutrisinya. Beberapa nutrisi memiliki hubungan yang bersifat sinergi dan ada pula yang bersifat antagonistik. Hubungan sinergi terjadi apabila penyerapan suatu nutrisi dapat memicu ketersediaan nutrisi lain. Hubungan antagonis terjadi apabila penyerapan nutrisi tertentu mengakibatkan tidak terserapnya nutrisi lainnya. Akan tetapi sifat antagonis dapat dimanfaatkan untuk efek toksik beberapa elemen seperti penambahan Sulfur pada jenis tanah tertentu untuk mengurangi efek toksik dari Molybdenum (Acquaah, 2001).

Menurut Lakitan (2010), pemberian konsentrasi larutan terhadap tanaman juga terdapat batasan-batasan. Batas konsentrasi unsur hara dalam jaringan tumbuhan yang menyebabkan pertumbuhan tertekan sebesar 10% dari pertumbuhan maksimum disebut sebagai ”batas kritis” bagi nutrisi tersebut. Tumbuhan dikatakan kekurangan (deficient) nutrisi tertentu jika pertumbuhan terhambat yakni hanya mencapai 80% dari pertumbuhan maksimum, walaupun semua unsur hara essensial lainnya tersedia berkecukupan.

Berdasarkan ketentuan ketepatan konsentrasi yang dibutuhkan tanaman. Penerapan sistem hidroponik merupakan pilihan tepat sebab pada sistem ini, pembuatan nutrisi melalui perhitungan yang cermat serta mudah untuk dilakukan modifikasi konsentrasi. Ketepatan konsentrasi dapat diketahui dengan memperhatikan kepekatan larutan yang dapat diketahui dengan menghitung daya hantar arus listrik dari larutan tersebut (Electro Conductivity = EC). Semakin pekat larutan, maka semakin besar pula arus listrik yang dihantarkan (Irawan, 2003).

Setiap bahan kimia mempunyai nilai EC yang berbeda. Sehingga pencampuran nutrisi pada sistem hidroponik juga akan memberikan nilai EC yang spesifik. Satuan EC didasarkan pada satuan daya hantar listrik yaitu mS/cm, atau mmho/cm. Jumlah EC untuk tanaman kecil adalah 1,0 mS/cm, sedangkan untuk tanaman sedang sebesar 1,5 mS/cm dan untuk tanaman besar adalah 2 mS/cm. Peningkatan nilai EC juga diperbolehkan sampai pada batas tertentu. Batasan nilai EC ditujukan untuk menghindari terjadinya penurunan efisiensi penyerapan nutrisi karena tanaman mulai jenuh untuk menyerap nutrisi. Peningkatan nilai EC berdampak pada pertumbuhan tanaman yang cepat mencapai ukuran layak panen, meskipun memerlukan penambahan biaya untuk pemberian tambahan pupuk (Karsono, 2002).

Selain kemudahan dalam penentuan konsentrasi nutrisi yang diberikan penerapan penanaman secara hidroponik akan mengurangi kandungan logam pb akibat penanaman kangkung di lahan bebas. Menurut Kohar et.al (2004), kangkung termasuk salah satu tanaman yang mudah menyerap logam berat dari media tumbuhnya, padahal kangkung banyak dikonsumsi dan sering dijumpai tumbuh atau ditanam di tanah-tanah kosong di sekitar daerah sungai dengan pengairan yang berasal dari sungai tersebut. Tanaman kangkung yang tumbuh atau ditanam di daerah yang tercemar oleh Pb dapat menyerap Pb dan dibawa ke seluruh bagian tanaman.

Efisiensi penggunaan nutrisi juga dapat diterapkan pada sistem hidroponik dengan memanfaatkan kembali larutan nutrisi. Menurut Susila (2009), pemanfatan kembali larutan nutrisi pada konsentrasi larutan nutrisi awal tinggi dapat meningkatkan bobot tanaman kangkung yang dapat dipasarkan sesuai dengan ukuran panen.

REFERENSI

Acquaah, George. 2001. Principles of Crop Production: Theory, Techniques, and Technology. Prentice Hall. India. 460 hal.
Irawan, Agus. 2003. Hidroponik Bercocok Tanam Tanpa Media Tanah. M2S. Bandung
Karsono, Sudibyo, Sudarmojo, dan Yos Sutiyoso. 2002. Hidroponik Skala Rumah Tangga. Agromedia Pustaka. Jakarta. 64 hal.
Kohar, Indrajati, Poppy Hartatie Harjo, Melyana Jonatan, dan Onie Agustanti. 2004. Studi Kandungan pb dalam Batang dan Daun Kangkung (Ipomoea reptans) Yang Direbus dengan Penambahan NaCl dan Asam Asetat. Makara Sains 8 (3) :85-88.
Lakitan, Benyamin. 2010. Dasar-DasarFisiologi Tumbuhan. Rajawali Pers. Jakarta.
Powers, Laura E., dan Robert McSorley. 1999. Ecological Principles of Agriculture. Cengage Delmar Learning. Boston. 456 hal
Susila, Anas D. 2009. Pengembangan Teknologi Maju untuk Meningkatkan Produksi Sayuran Berkualitas Sepanjang Tahun. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. http://vegetable2009.files.wordpress.com/2009/02/advanced-technology-pada-produksi-tanaman-sayuran1.pdf. Diakses 13 Januari 2011.

2 komentar: