Kamis, 14 Oktober 2010

Phatogen Kedelai xanthomonas campestris pv. Phaseoli dan Cara Pengendaliannya

TUGAS TERSTRUKTUR

ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN

PATOGEN KEDELAI (Glycine max) Xanthomonas campestris pv. Phaseoli dan Cara Pengendaliannya

Makalah ini Disusun Guna Melengkapi

Komponen Tugas Terstruktur

Mata Kuliah Organisme Pengganggu Tumbuhan

Dosen Pengampu: Prof. Ir. Loekas Soesanto, MS., Ph.D

Disusun Oleh:

Kelompok II

Tiara Marshela Dewi A1L008052

Arif Ardiawan A1L008062


PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2009

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedelai (Glycine max (L.) Merr. ) merupakan salah satu jenis kacang sumber protein terpenting di dunia. Di Amerika dan Eropa merupakan sumber minyak konsumsi (Naiola, 1986).

Kedelai tidak terdapat sebagai tumbuhan liar dialam. Diduga bahwa kedelai berasal dari hibridisasi antara G. ussuriensis Regel yang terdapat liar di selatan Asi bagian timur, dengan G. tomentosa Benth. yang tumbuh liar di Cina bagian selatan. Kedelai dibudidayakan di cina ejak zaman prasejarah. Kedelai sudah lama dibudidayakan di Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali (Semangun, 2004).

Sebagai sumber protein bagi masyarakat, kedelai sangat diusahakan oleh pemerintah untuk mencapai derajat sewasembada kedelai. Akan tetapi produksi nasional kedelai belum cukup untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional. Selain melakukan impor kedelai, beberapa cara seperti intensifikasi budidaya kedelai juga dilakukan. Akan tetapi, intensifikasi tersebut terhambat oleh munculnya hama maupun penyakit yang menyerang tanaman kedelai.

Kedelai dilihat dari berbagai segi:

1. Morfologi

a. Biji

Biji kedelai berkeping dua terbungkus kulit biji dan tidak mengandung jaringan endospermae. Embrio terletak diantara keeping biji. Pusar biji (hilum) adalah jaringan bekas bii melekat pada dinding buah. Pada umumnya berbentuk bulat lonjong. Besar biji dipengaruhi oleh varietas, diukur dengan bobot 100 biji kering, berkisar antara 6-30 gram (Sumarno, 1986).

b. Kecambah

Biji kedelai yang kering akan berkecambah bila memperoleh air yang cukup. Air tanah dalam kapasitas lapang baik untuk perkecambahan biji kedelai. Suhu optimum untuk proses perkecambahan adalah antara 27-30oC. kecambah kedelai tergolong epigeous, yaitu keeping biji muncul diatas tanah. Daya kecambah ulai turun terutama bila keadaan air dalam biji diatas 13% dan disimpan didalam ruangan yang suhunya diatas 25oC, serta kelembaban nisbi ruang lebih dari 80%. Biji kedelai yang disimpan dalam gudang tanpa pendingin hanya dapat tahan sekitar 2-5 bulan, lebih daeri itu sebagian besar biji tidak mamu tumbu lagi (Sumarno, 1986).

c. Akar

Kedelai berakar tunggang. Pada tanah gembur akar dapat tumbuh sampai kedalaman 150 cm. paqda akar kedelai terdapat bintil akar,yang merupakan koloni dari bakteri Rhizobium japonicum. Pada tanah yang telah mengandung bakteri rizobium, bintil akar mulai terbentuk sekitar 15-20 hari setelah tanam. Bakteri rizobium mengikat nitrogen dari udara yang kemudian dapat digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Sebaliknya, rizobium juga memerlukan makanan yang berasal dari tanaman kedelai untuk pertumbuhannya (Sumarno, 1986).

d. Batang

Kedelai berbatang perdu dengan tinggi 30-100 cm. batang dapat membentuk 3-6 cabang, tetapi bila jarak antar tanaman rapat, cabang menjadi berkurang. Jumlah polong per pohon beragam tergantung dari varietas, kesuburan tanah, dan jarak tanam. Satu batang kedelai yang tumbuh tersendiri pada tanah yang subur dapat menghasilkan 100-250 polong. Tetapi apabila ditanam rapat dalam pertanaman, produksi polong per pohon tidak lebih dari 30 oplong (Sumarno, 1986).

2. Klasifikasi

Kedelai termasuk famili kacang-kacangan (leguminosae), klasifikasi secara lengkap adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dikotiledon

Ordo : Polypetales

Famili : Leguminosae

Sub Famili : Papilionoideae

Genus : Glycine

Spesies : Glycine max

Kedelai mempunyai susunan genom diploid (2n). dengan 20 pasang kromosom.

3. Media Tumbuh

Tanaman kedelai dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah, asalkan darinase tanah cukup baik dan air tersedia cukup selama pertumbuhan. Pada jenis tanah alluvial, regosol, grumosol, latosol, dan andosol, kedelai dapat tumbuh dengan baik. Agar pertumbuhan kedelai optimal, tanah perlu mengandung cukup unsure hara, bertekstur gembur, bebas gulma, serta mengandung cukup air. Tingkat keasaman tanah (pH) 6,0-6,8 merupakan keadaan optimal bagi pertumbuhan kedelai dan bakteri rhizobium pada bintil akar. Pada tanah dengan pH sekitar 5,5 pun kedelai masih memberi hasil. Pemberian kapur sebanyak 2-3 ton/ha bagi tanah-tanah ber-pH di bawah 5,5 pada umumnya dapat menaikan hasil (Sumarno, 1986). Namun, saat ini, untuk memanfaatkan tanah dengan pH rendah, dapat dilakukan dengan menanam kedelai varietas Slamet yang tahan terhadap tanah masam.

Hubungan antara bakteri dengan tanaman, dapat bersifat epifit, artinya apabila bakteri hidup pada filosfer, exudat, luka-luka dan bagian-bagian tanaman tanpa merugikan tanaman yang bersangkutan. Apabila bakteri hidup di daerah perakaran (rhyzosphere) maka akan terjadi hubungan yang bersifat sinergisme. Telah diketemukan bahwa pada daerah rizosfer terdapat bakteri yang lebih banyak daripada di tempat lain. Hal ini akibat substansi-substansi yang dikeluarkan oleh tanaman dapat menarik atau merangsang pertumbuhan bakteri. Bakteri Rhizobium spp. yang hidup dalam bintil-bintil akar pada tanaman kedelai, melakukan hubungan yang bersifat simbiosis dengan tanaman kedelai, dengan membantu mengikat nitrogen dari udara dan mendapat karbohidrat dari tanaman. Akan tetapi, bakteri dapat pula bersifat parasit. Bahkan parasitisme yang ditimbulkan bakteri dapat bersifat pathogen apabila menimbulkan penyakit bagi tanaman (Sastrahidayat, 1991).

Penyebab perlu adanya pengendalian terhadap penyakit terutama kedelai terkait dengan hasil produksi. Jika penyakit yang menyerang mengurangu baik kualitas maupun kuantitas produksi yang menyebabkan kerugian, maka usaha pengendalian sangat perlu untuk diterapkan.

Hasil produksi kedelai nasional mengalami fluktuatif dimulai dari tahun 2004. pada tahun 2004, produksi kedelai nasional mencapai 723.483 Kuintal dengan produktivitas 12.80 Kuintal/Ha. Lalu mengalami kenaikan pada tahun 2005 sebesar 808.353 kuintal. Kemudian tahun 2006 mengalami penurunan menjadi 747.611 kuintal. Penurunan produksi kembali terjadi di tahun 2007 dengan besarnya produktivitas sebesar 12.91 Kuintal/Ha, dengan besarnya produksi 592.534 kuintal. Penurunan yang terjadi cukup drastis di tahun 2007. selanjutnya produksi kembali naik di tahun 2008 menjadi 775.710 kuintal dengan besarnya produktivitas 13.13 kuintal/Ha (Badan Pusat Statistik, 2008). Selain dari perbedann luasan areal panen, penyebab yang mungkin terjadi terhadap penurunan hasil produksi kedelai adalah karena adanya serangan penyakit.

  1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, dapat disusun rumusan masalah sebagai pokok pembahasan makalah ini yaitu:

  1. Bagaimana spesifikasi bakteri penyebab penyakit pustule pada tanaman kedelai?
  2. Bagaimana upaya pengendalian terhadap serangan penyakit pustule pada kedelai?


II. PATOGEN

(Xanthomonas campestris pv. Phaseoli )

Pada pokok bahasan kali ini, lebih ditekankan kepada patogen tanaman kedelai yang disebabkan oleh bakteri. Bagaimanapun, bakteri sangatlah penting dan mematikan terutama di daerah yang beriklim basah seperti daerah tropis. Sebagian besar bakteri penyebab penyakit bagi tumbuhan adalah berbentuk batang (rob-shaped). Kecuali bagi beberapa bakteri seperti Streptomyces scabies yang menyebabkan penyakit scab (kudis) pada kentang. Kebanyakan dari spesies bakteri dapat hidup sebagai saprofit, sebagian ada bersama bahan organic di tanah atau di luar tubuh tumbuhan (Dickinson, 2003).

Pada umumnya hawar ataupun pustul bakteri disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. phaseoli. Pada sebagian besar kawasan di dunia, hawar bakteri adalah penyakit seed-borne yang menyebabkan kerugian produksi sebesar 20-60% pada kultivar rentan (Marquez. dkk, 2007).

A. Xanthomonas campestris pv. Phaseoli (bacterial pustule – bisul bakteri)

Penyakit ini biasa disebut dengan istilah bisul bakteri (bacterial pustule). Penyakit ini termasuk salah satu penyakit penting pada kedelai di Indonesia. Penyakit tersebut tersebar luas di seluruh Indonesia. Bahkan menurut Nyvall (1979) dalam Semangun bahwa dapat dikatakan penyakit ini tersebar di seluruh dunia dimana kedelai berada (Semangun, 1991)

1. Gejala Yang Ditimbulkan

Bakteri ini menyerang tanaman kedelai bermula dari bagian daun. Pada kasus ini, bakteri masuk melalui hidatoda, yang strukturnya mempunyai pori air yang berlokasi di bagian tepi daun (Dickson, 2003). Selain melalui hidatoda, bakteri dapat masuk kedalam daun melalui stomata atau luka, dan kemudian menyerang ruang antar sel yang menyebabkan kerusakan bertingkat (a gradual dissolution) di lamella tengah. Untuk batang tanaman, bakteri masuk melalui tiga jalur yaitu: melalui stomata hypokotil dan epikotil, melalui jaringan vascular daun, atau melalui kotiledon yang terinfeksi (EPPO Quarantine Pest, 2004).

Bagian daun mula-mula terjadi bercak kecil berwarna hijau kekuningan dengan bagian tengahnya agak menonjol. Bercak ini tidak tampak kebasah-basahan seperti kebanyakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Bercak berkembang menjadi lebih besar, dan bagian tengahnya, terutama pada bagian bawah daun, terdapat tonjolan berwarna colat muda. Bercak yang ada mempunyai ukuran yang bervariasi. Bercak mongering dan sering mengakibatkan sobeknya daun(Semangun, 1991).


Gejala bisul daun sering dikacaukan dengan munculnya gejala karat daun yang disebabkan oleh jamur Phakospora pachryhizi Syd. Perbedaanya adalah pada penyakit bisul daun, tidak terdapat lubang yang mengeluarkan spora seperti yang terjadi pada gejala penyakit karat daun. Pada gejala penyakit bisul, terdapat satu celah yang melewati pusat bercak (Nyvall, 1979, pada Semangun, 1991). Pada polong varietas yang rentan penyakit ini menyebabkan terjadinya bercak kecil berwarna coklat kemerahan.

2. Morfologi

Bakteri ini berbentuk batang dengan flagellum polar, bersifat aerobic dengan ukuran 0.4-0.9 x 0.6-2.6 µm (EPPO Quarantine Pest, 2004). Membentuk kapsula, tidak menghasilkan spora. Biakan yang dihasilkan memiliki warna putih kekuningan, berbentuk bundar, permukaan tepi halus serta berlendir (Dickson (1956) pada Semangun, 1991). Hampir semuanya monotrichus, bersifat gram negative yaitu bakteri yang tidak dapat diberi warna atau menyerap warna oleh pewarna crystal violet (pewarna gram), menyebabkan nekrose (kematian jaringan setempat) pada tumbuhan monokotil dan dikotil (Sastrahidayat, 1991

3. Biologi

Bakteri ini hidup dengan cara mempertahankan diri pada sisa-sisa tanaman sakit dan pada biji. Menurut Nyvall, bakteri ini juga bertahan pada rhizofer tanaman lain, antara lain gandum.

Infeksi pada tanaman terjadi melalui mulut kulit dan hidatoda (pori air), bakteri selanjutnya berkembang dalam ruang antarsel. Selain itu, infeksi dapat terjadi melalui luka-luka. Pemencaran bakteri dipengaruhi terutama oleh percikan yang ditimbulkan oleh air hujan, terutama jika hujan disertai dengan angin keras. Selain itudapat terjadi karena adanya singgungan antar daun, dank arena bersentuhan dengan alat-alat pertanian yang terkontaminasi pada saat daun dalam keadaan basah (Semangun, 1991).

4. Klasifikasi

Bakteri Xanthomonas campestris pv. Phaseoli termasuk bakteri yang ada pada (Sastrahidayat, 1991):

Divisi : Gracilicutes (Gram-negatif) (Dickson, 2003)

Kelas : Schizomycetes nagali

Ordo : Eubacteriales Buchanan (Bersel tunggal, kaku, berbentuk rantai atau merupakan kumpulan)

Famili : Pseudomonadaceae (tidak berendospora, lurus memanjang atau merupakan spiral yang agak melengkung, biasanya bergerak dengan flagella yang polar, biasanya gram negatif)

Genus : Xanthomonas (biasanya monotrichus, berpigmen warna kuning, yang tidak larut dalam air)

Spesies : Xanthomonas campetris pv. phaseoli

5. Arti Penting

Di kawasan Indonesia, penyakit ini lebih banyak terjadi pada musim hujan, dan menyerang kebanyakan di wilayah dataran rendah. Hal tersebut terjadi karena penyakit ini akan berkembang dengan mudah pada kondisi suasa yang lembab dan suhu yang relative tinggi, dengan kisaran suhu optimum 30-350C (Machmud pada Semangun, 1991).

Penyakit ini dipengaruhi oleh umur tanaman. Gejala penyakit biasanya mulai tampak pada tanaman kedelai setengah umur, lebih kurang 40 hari setelah tanam. Serangan penyakit akan semakin parah dengan bertambahnya umur tanaman (Semangun, 1991).

Serangan penyakit juga dipengaruhi oleh kondisi fisiolgis tanaman. Pada tanaman kedelai mengalami laju pertumbuhan vegetatif yang cukup besar pada saat periode pengisian polong. Keadaan ini dangat berpengaruh terhadap hasil biji kering karena distribusi asimiltat tidak seluruhnya terkonsenrasi pada pengisian polong (Widiatmoko, 2003). Konsdisi nutrisi yang banyak pada bagian vegetasi tanamn emmpengaruhi serangan pathogen pada tanaman.

Bakteri dapat berembang biak sangat cepat. Pada kondisi yang optimal pembelahan sel-sel bakteri terjadi sangat cepat, yaitu sekali dalam 20 menit, sehingga didalam periode 10 jam satu sel bakteri akan menjadi satu juta sel baru (Sastrahidayat, 1991).

B. Cara Pengendalian Penyakit

Cara ataupun usaha yang dapat dilakukan untuk mengendalikan serangan pathogen kedelai diantyaranya adalah:

    1. Pengendalian dengan menanam jenis yang tahan.

Ketahanan yang dimaksud pada bahasan ini memiliki dua bentuk. Suatu tanaman mungkin saja tahan terhadap infeksi dari suatu penyakit atau pathogen. Sebaliknya, ada kemungkinan pula bahwa tanaman yang tahan itu dapat mengalami atau kena infeksi, tetapi tanamn tersebut dapat mengatasi aktivitas dari patogennya, sehingga pathogen tersebut tidak dapat membiak atau berkembang dengan bebas, dan tidak menyebabkan kerusakan yang berat atau yang menyebabkan kerugian yang berarti (Djafaruddin, 2004).

Salah satu cara untuk memperoleh jenis tanaman yang tahan terhadap suatu penyakit,adalah dengan: Collection, yaitu memilih individu-individu yang tahan dari suatu populasi yang rentan, lalu membiakannya dan mengadakan pemilihan terus-menerus sampai terdapat galur-galur murni yang tanah (pure resistant lines). Dapat pula dengan introduksi, yaitu memasukan jenis baru yang tahan dari daerah atau Negara lain. Atau dengan mengadakan persilangan antara jenis yang tahan dengan jenis yang rentan. Dengan menyilangkan, maka hasil persilangannya dapat diharapkan menjadi tahan pula. Dengan harapan akan didapat jenis-jenis yang tahan serta mempunyai sifat-sifat lain yang diinginkan pula, baik kuantitas maupun kualitas hasilnya yang baik dan haruslah homozigot (Djafaruddin, 2004)

    1. Pengendalian Dengan Cara Kultur Teknis

Pada dasarnya sistem ini dilakukan sebagai upaya memelihara tanaman dengan sebaik-baiknya. Yang dimaksud sebaik-baiknya adalah memiliki kualitas yang baik yang ditinjau dari segi tanah, bibit, pemeliharaan tanaman, sanitasi tanaman.

Usaha memilih lahan yang baik artinya memilih lahan yang tidak mengandung penyebab timbulnya penyakit atau dikenal dengan istilah non-infested soil yaitu tanah yang bebas dari infeksi. Pemilihan areal penanaman juga ditentukan dengan kondisi geografis yaitu dengan melihat kondisi cuaca yang cocok bagi tanamn kedelai tapi tidak cocok bagi pathogen.

Pemeliharaan tanaman yang dimaksud dapat diartikan sebagai teknik penanaman yaitu dengan metode tumpang sari ataupun dengan pergiliran tanaman (crop rotation) sistem ini bertujuan untukmemutus siklus hidup pathogen.

Sanitasi merupakan usaha pemberswihan areal tanaman maupun tanaman itu sendiri. Dengan adanya usaha sanitasi, maka kebersihan akan terjamin. Sanitasi dapat dilakukan dengan menghilangkan tanaman-tanaman yang tidak dibudidaya (gulma), menghilangkan bagian tanaman yang sudah tua, menghilangkan bagian tanaman yang sakit atau bahkan tanaman yang terinfeksi dimusnahkan (roguing). (Djafaruddin, 2004).

    1. Pengendalian Dengan Cara Hayati Biologis

Metode ini memanfaatkan musuh alami dari pathogen yang menyerang. Penggunaan agensia hayati atau streptomisin sulfat terpadu dengan cara tanam tumpangsari untuk mengendalikan penyakit pustul di lapangan menurunkan keparahan penyakit berturut-turut adalah 44-54% untuk musim kemarau dan 45-49% untuk musim penghujan (Dirmawati, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian Darmawati (2005) terdapat pengaruh nyata aplikasi agensia hayati pada kedelai yang ternaungi oleh jagung untuk pengurangan keparahan penyakit pustul. P fluorescens GI34 yang digunakan untuk mengendalikan penyakit pustul memproduksi hidrogen sianida dan siderofor untuk bersaing dengan X campestris pv. glycines sedangkan B subtilis BB01 membentuk endospora sehingga bertahan hidup di permukaan daun. Menurut Kim (1997) di dalam Darmawati (2005) pada saat pembentukan endospora diproduksi antibiotik berupa peptida sehingga agensia hayati menghambat pertumbuhan pathogen.

    1. Pengendalian Dengan Menggunakan Zat Kimia (Pestisida)

Untuk mengendalikan serangan bakteri, dapat digunakan jenis bakterisida. namun saat ini, langah tersebut sudah banyak terbukti menimbulkan dampak negative. Bahkan langkah inilah yang sering dipermasalahkan dari langkah pengendalian penyakit khususnya dan gangguan pada umumnya, kalau pendekatannya dilakukan dengan hanya satu langkah ini saja, sebagaimana dikemukakan oleh para ahli dan juga oleh FAO, bahwa ia akan m enimbulkan berbagai dampak negative. Beberapa dampak negative dari pengendalian penmyakt dengan menggunakan bahan kimia pestisida adalah:

a. Penyakit akan resisten atau kebal

Cepat lambatnya perkembangan penyakit tersebut menjadi resisten, antara lain tergantyung dari besar kecilnya tekanan seleksi pestisida tersebut. Semakin sering pestisida diaplikasikan, maka akan semakin besar tekanan seleksinya dan semakin cepat populasi penyakit menjadi resisten terhadap pestisida tersebut.

b. Resurgensi (Timbulnya kembali penyakit tersebut)

Sebab-sebab terjadinya resurgensi, antara lain karena musuh-musuh alaminya mati, pengaruh fisiologis pestisida tersebut terjhadap kesuburan penyakit dan tanaman inang pathogen tersebut. Selain itu, residu yang dihasilkan pestisida tidak mampu membunuh nympha atau spora tahan dan lain sebagainya yang semakin resisten, sehingga ini dapat berkembang tanpa ada musuh atau saingan lainnya (Djafaruddin, 2004).

c. Timbul ledakan penyakit sekunder

Aplikasi pestisida untuk memberantasjenis penyakit tertentu, malah nerakibat munculnya jenis penyakit penting yang lain. Ledakan pathogen sekunder ini dapat terjadi beberapa saat setelah aplikais pestisida; pada akhir musim pertanaman atau malah pada musim tanam berikutnya. Pathogen ini sering lebih merusak lagi daripada pathogen utama tadi. Untuk itu dibutuhkan waktu yang cukup lama guna mengembalikan peranan musuh alami tadi.

d. Pencemaran lingkungan hidup

Air, tanah, udara ikut pula tercemar oleh pestisida. Tergantung dari jenis pestisidanya, maka akan dapat mengalami proses biodegradasi, dirimbakan secara biologis dalam tanah dan air. Namun ada beberapa pestisida yang tidak dapat mengalami proses biodegrasdasi. Jenis ini disebut pestisida yang persisten, dan dapat mengakibatkan pembesaran biologis yang mencemari lingkungan dalam dimensi yang sangat luas (Djafaruddin, 2004).

e. Residual Effect

Dengan aplikasi pestisida yang berlebihan, apalagi jenis pestisida yang persisten, akan meninggalkan residu dalam tanaman dan produk pertanian. Hal tersebut dipengarusi jenis pestisida dan tingkat residunya yang di tentukan dengan satuan ppm/kg yang dapat berbahaya bagi konsumen.

f. Kecelakaan manusia (Hazard)

Penggunaan pestisida yang kurang hati-hati dapat mencelakakan si pemakai. Keracunan melalui mulut atau kulit si pemakai seringhkali terjadi, sehingga membahyakan.

Masuknya pestisida kedalam tubuh manusia sama dengan ketika meracuni serangga.cara masuknya dalam tubuh manusia dapat melalui mulut (toxisitas oval), melalui kulit (toxisitas dermal), diinjeksikan dibawah kulit (toxisitas dermal), diinjeksikan kejaringan otot (toxisitas intramuscular) atau melalui pernafasan (inhalasi). Apabila masuk dalam tubuh maka akan dapat mengakibakan gejala akut dan kronik. Gejala akut akan segera menimbulkan kesakitan atau kematian akibat terkena dosis tunggal pestisida. Ketracunan ini biasanya terjadi pada pemakai, pekerja karena kecerobohannya sewaktu aplikasi atau sengaja meminum pestisida (Badami, 2006).

Namun, dalam taraf perkembangan teknologi pengendalian penyakit saat ini bahkan mungkin dimasa yang akan datang, pestisida masih diperlukan. Hanya saja perlu ada penekanan pada aspek bagaimana pemakaiannya. Yang sangat penting adalah memilih pestisida yang jenis pestisidanya, dosis, waktu dan cara aplikasinya secara tepat.

    1. Pengendalian Dengan Metode Pengendalian Terpadu

Pada dasarnya pengendalian penyakit tanaman secara terpadu adalah mengkombinasikan metode-metode pengendalian yang memungkinkan dengan mempertimbahngkan aspek ekonomis dan kelestarian lingkungan. Namun, pada prinsipnya adalah sebagai berikut:

a. Menghindarkan: artinya menghindari penyakit datang dengan mangatur pola dan sistem tanam tepat waktu dan tepat ruang.

b. Mengesampingkan Inokulum: mencegah perkembangan inokulum atau perkembangan pathogen di suatu daerah atau areal yang tidak terinfeksi.

c. Mengendalikan: mengurangi, membuat tidak ada atau tidak aktifnya serta meniadakan bahkan memusnahkan atau merusak inokulumpada sumbernya.

d. Memberikan proteski: mencegah dengan menghguunakan bahan ataupun vegetasi yang dapat menghindarkan dari serangan pathogen.

e. Meningkatkan ketahanan tanaman: dengan memanipulasi sifat yang ada pada tanaman terutama sifat pertahanan terhadap serangan pathogen melalui rekayasa genetika.

f. Penyembuhan-pengobatan: mengurangi beratnya serangan penyakit pada tanaman yang telah terinfeksi (mengurangi/ menyembuhkan sampai pada tingkat yang tidak merugikan lagi).


III. KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan mengenai penyakit pustule pada kedelai yang disebabkan bakteri X. campestris pv. Phaseoli, bahwa:

1. Bakteri penyebab penyakit pustule atau bisul pada kedelai disebabkan oleh Xanthomonas campestris pv. Phaseoli. Bakteri gram negatif berbentuk batang menyerang daun kedelai melalui hidatoda ataupun stomata. Menyerang melalui ruang antar sel (lamella tengah). Infeksi yang terjadi dapat melalui luka-luka. Pemencaran bakteri dipengaruhi terutama oleh percikan yang ditimbulkan oleh air hujan, terutama jika hujan disertai dengan angin keras. Selain itudapat terjadi karena adanya singgungan antar daun, dank arena bersentuhan dengan alat-alat pertanian yang terkontaminasi pada saat daun dalam keadaan basah. Serangan bakteri ini mendominasi pada tanaman berumur muda yaitu sekitar 40 hari setelah tanam

2. Pengendalian tepat yang dapat dilakukan terhadap serangan penyakit pustule atau bisul pada pada tanaman kedelai adalah dengan melakukan pengendalian secara terpadu. Pengendalian dilakukan dengan mengkombinasikan teknik-teknik pengendalian yang ada dengan mempertimbangkan nilai efektifitas dan efisiensi yang berdasar pada keuntungan nilai ekonomis. Sejauh ini pengandalian yang dirasa tepat adalah dengan mengkombinasikan system tumpangsari dengan pemberian agensia hayati berupa streptomisin sulfat yang dapat menghambat pertumbuhan pathogen.


IV. DAFTAR PUSTAKA

Badami, Kaswan. 2006. Toksisitas Pestisida Terhadap Lingkungan Dan Efek Toksisnya Terhadap Manusia. Embryo, jurnal ilmu-ilmu pertanian vol. 3 No. 1. Juni 2006.

Badan Pusat Statistik. 2008. Produksi tanaman Kedelai Indonesia. http://www.bps.go.id. Diakses tanggal 20 Oktober 2009

Dickson, M. 2003. Molecular Plant Pathology. BIOS Scientific Publishers, Padstow, United Kingdom.

Dirmawati, Suskandini Ratih. 2005. Penurunan Intensitas Penyakit Pustul Bakteri Kedelai Melalui Strategi Cara Tanam Tumpangsari Dan Penggunaan Agensia Hayati. Jurnal AGRIJATI edisi Desember 2005.

Djafaruddin. 2004. Dasar-Dasar Pengendalian Penyakit Tanaman. Bumi Aksara, Jakarta.

EPPO Quarantine Pest. 2004. Data Sheets on Quarantine Pest: Xanthomonas axonopodis pv. Phaseoli. http://www.eppo.org/QUARANTINE/bacteria/Xanthomonas_phaseoli/XANTPH_ds.pdf. diakses tanggal 20 Oktober 2009.

Marquez, Margarita Lema. dkk. 2007. Selecting Common Bean with Genes of Different Evolutionary Origins for Resistance to Xanthomonas campestris pv. Phaseoli. http://crop.scijournals.org/cgi/reprint/47/4/1367.pdf. diakses tanggal 20 Oktober 2009.

Naiola, Paul. 1986. Tanaman Budidaya Indonesia, Nama Serta Manfaatnya. Yasaguna, Jakarta.

Sastrahidayat, Ika Rochdjatun. 1991. Ilmu penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional, Surabaya.

Semangun, Haryono. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan Indonesia. Cetakan ketiga. Gadjah Mada Universuty Press, Yogyakarta.

Sumarno. 1986. Kedelai dan Cara Budidayanya. Yasaguna, Jakarta.

Widiatmoko, Teguh. Widodo. 2003. Upaya Peningkatan Produksi Varietas Slamet Melalui Optiomalisasi Tot Dan Penghambatan Pertumbuhan Vegetatif. Agronomika Vol. 3 No. 1 Januari 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar