Kamis, 21 April 2011

Emas Hijau dari Limbah

Oleh YUNI IKAWATI
Limbah hasil panen di pertanian dan perkebunan berupa cangkang, tandan kosong, jerami, dan serasah selama ini dianggap obyek tak berguna. Namun, penelitian menunjukkan, selain pakan dan papan, dari limbah ini juga dihasilkan beragam produk yang tergolong baru dan bernilai ekonomis tinggi, serta ramah lingkungan.

Memiliki hutan dan perkebunan luas, Indonesia yang berada di wilayah tropis dan beriklim basah menjadi produsen utama biomassa di dunia. Dengan melonjaknya harga bahan bakar fosil, belakangan ini biomassa mulai banyak digunakan sebagai bahan bakar nabati. Apalagi jenis energi ini ramah lingkungan dan terbarukan.
Selain sebagai bahan bakar nabati berupa bioetanol dan biodiesel, biomassa juga diolah menjadi berbagai produk kimia untuk menggantikan senyawa petrokimia yang berasal dari bahan bakar minyak. Hal ini yang kemudian mendorong berkembangnya biokilang (biorefinery), yaitu mengolah habis biomassa dengan cara ramah lingkungan sehingga tak menyisakan limbah.
Forum Ekonomi Dunia meramalkan, tahun 2020 industri biokilang akan berkontribusi 230 miliar dollar AS pada ekonomi global dan penggunaan biomasa dalam produksi bahan kimia akan meningkat 9 persen.
Pemanfaatan biomassa untuk energi dan bahan kimia bernilai ekonomis tergolong perkembangan baru setelah pengolahan yang konvensional, yaitu untuk pakan, sandang, dan papan.
Agar tidak mengganggu pasokan bahan baku untuk pangan, pengolahan biomassa untuk energi dan bahan kimia memanfaatkan limbah pertanian dan perkebunan, serta sumber nabati yang tidak dibudidayakan untuk bahan pangan.
Mempertimbangkan hal tersebut, peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada Balai Besar Teknologi Pati dan Pusat Teknologi Bioindustri memanfaatkan limbah perkebunan kelapa sawit berupa cangkang sawit, tandan kosong, dan batang yang tak produktif.
Biokilang
Pengolahan biomassa dengan teknik biokilang, menurut Agus Eko Tjahjono, perekayasa utama bioenergi dari BPPT, mulai digalakkan di badan riset itu sejak lima tahun lalu.
Indonesia yang merupakan produsen terbesar minyak kelapa sawit berpotensi menghasilkan biomassa dari perkebunan sawit. Dari cangkang dan tanda kosong kelapa sawit dihasilkan bioetanol dan biodiesel.
”Cangkang diolah menjadi karbon aktif dan biogas,” kata Indra Budi Susetyo, Kepala Program Sawit BPPT
Dalam hal ini BPPT telah merancang bangun biokilang untuk menghasilkan bioetanol generasi kedua. ”Tiga tahun ke depan bioetanol ini sudah pada tahap komersial,” kata Agus.
Bioetanol generasi kedua, menurut Unggul Priyanto, Deputi Teknologi Instrumentasi Energi dan Material BPPT, memanfaatkan serat berupa limbah kayu, tandan kosong kelapa sawit, dan sekam padi sehingga tidak berkompetisi dengan kebutuhan pangan. Adapun bioetanol generasi pertama menggunakan bahan baku pati-patian.
Selain itu, dikembangkan pula teknologi proses pembuatan biodiesel dari limbah kelapa sawit dengan proses gasifikasi. Biodiesel ini juga sudah sampai generasi kedua. ”Rencananya kami mengembangkan biodiesel dan bioetanol ke tahap pilot plant bekerja sama dengan Mitsubishi,” kata Unggul.
Limbah gliserol
Selain menjadi minyak goreng dan mentega, minyak kelapa sawit juga diolah menjadi biodiesel. Namun, pengolahan minyak sawit mentah (CPO) yang berupa trigliserida menjadi biodiesel yang berbentuk metil ester menghasilkan produk samping, yaitu gliserol.
”Persentase gliserol hanya 10 persen dari total produksi. Namun, volumenya akan besar, yaitu 2 juta ton bila dikaitkan dengan rencana produksi bahan bakar nabati sebesar 20 juta ton tahun 2015,” kata Witono Basuki, Direktur Pusat Teknologi Bioindustri BPPT.
Karena itu, dikembangkan teknik pengolahan gliserol menjadi produk berguna, antara lain minyak Omega 3 (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA), asam suksinat, dan propandiol untuk bahan baku plastik. Minyak Omega 3 selama ini untuk mengobati penyakit jantung, Alzheimer, dan antikanker. ”Teknik penguraian gliserol di biokilang sudah berhasil dalam skala laboratorium. Kini dikembangkan ke skala komersial,” ujar Witono.
”Selain itu, juga diteliti penggunaan CPO untuk pelumas karet dan menjadi polimer untuk bahan pelapis,” kata Indra.
Terkait dengan itu, Maret lalu dilakukan penandatanganan kesepakatan dan perjanjian kerja sama antara Pusat Teknologi Bioindustri BPPT dan Umsicht (lembaga riset di bawah Fraunhofer Institute Jerman yang bergerak di bidang lingkungan, keamanan dan teknologi energi).
Kerja sama dilakukan dalam pengembangan produksi terpadu BBN dan bahan kimia (metil ester atau biodiesel, asam suksinat, protein, pupuk, dan biogas) dari berbagai biomassa.
Peneliti di Pusat Teknologi Bioindustri BPPT mengkaji enzim lipase untuk produksi biodiesel untuk menggantikan sodium hidroksida (NaOH) sebagai katalis.
Penggunaan senyawa kimia ini memerlukan perlakuan awal karena sensitif terhadap air dan memiliki asam lemak bebas pada bahan bakunya. Cara ini perlu energi besar untuk pemurnian dan membuat limbah cair menjadi bersifat basa.
Peneliti mengatasi hal itu dengan menggunakan enzim lipase yang berasal dari isolat mikroba tanah sebagai penggantinya. Hasilnya, produksi metil ester itu tidak menimbulkan limbah cair dan gliserol sehingga tidak perlu prosses pemurnian lebih lanjut.
Kerja sama itu juga untuk aplikasi katalis nanoreaktor untuk meningkatkan kecepatan reaksi dan kestabilan enzim.(Kompas Kamis, 21 April 2011.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar