Oleh Al Andang L Binawan
Sudah lama Bumi disapa sebagai ibu. Ini secara implisit mengatakan bahwa Bumi adalah sumber kehidupan. Akhir-akhir ini kesadaran itu terasa makin besar.
Banyak pihak seolah-olah berlomba menunjukkan diri ramah lingkungan, lebih-lebih menjelang Hari Bumi pada 22 April. Hampir setiap hari muncul iklan bertema ramah lingkungan. Kecenderungan ini sejalan dengan hasil riset Roy Morgan Single Source yang mencermati bahwa isu lingkungan di Jabotabek tahun 2008 menduduki peringkat kelima, padahal tahun 2007 hanya peringkat kesembilan.
Tentu saja kecenderungan ini menggembirakan mengingat kondisi Bumi makin memprihatinkan. Sangat diharapkan kecenderungan positif ini sungguh menjawab permasalahan Bumi. Untuk itu, tulisan ini mencoba menawarkan arah yang lebih dalam terhadap kepedulian itu.
Kondisi Bumi
Salah satu potret kondisi Bumi yang layak diangkat adalah hasil penelitian Millennium Ecosystem Assessment, lembaga penelitian di bawah PBB. Yang terutama diteliti adalah dampak perubahan ekosistem terhadap kehidupan manusia serta usul-usul perbaikannya.
Dalam laporan terakhir, terutama Ecosystem and Human Well-Being: Synthesis, 2005, ada empat temuan utama yang masih relevan untuk dikutip. Pertama, selama 50 tahun terakhir manusia telah mengubah ekosistem secara intensif dan ekstensif jauh lebih cepat dari masa-masa sebelumnya. Kebutuhan akan pangan, air bersih, hasil pertambangan, dan minyak mendorong eksploitasi itu. Akibatnya, daya dukung Bumi terhadap kehidupan manusia turun drastis.
Kedua, perubahan ekosistem memang memberi sumbangan substansial pada kemajuan ekonomi dan kehidupan manusia. Namun, ada dampak buruk berupa penurunan daya dukung ekosistem bagi kehidupan, peningkatan risiko dari perubahan nonlinear, dan peningkatan kemiskinan pada masyarakat. Ini berarti penurunan daya dukung ekosistem bagi generasi yang akan datang.
Ketiga, daya dukung ekosistem akan menurun drastis dalam paruh pertama abad ini. Hal ini akan mempersulit pencapaian Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs).
Keempat, tantangan untuk memperlambat laju degradasi ekosistem dan sekaligus tantangan meningkatkan daya dukungnya bisa dicapai dengan memerhatikan usulan Millennium Ecosystem Assessment ini. Hanya saja, tetap sangat diperlukan perubahan kebijakan, kelembagaan, dan praktik-praktik. Artinya, masih banyak pilihan untuk mempertahankan dan meningkatkan daya dukung ekosistem.
Antropogenik
Mirip dengan hasil penelitian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Millennium Ecosystem Assessment juga menyebut peran manusia—antropogenik—pada setiap kerusakan. Sayang, tidak dikatakan lebih jauh tentang berbagai hal yang bisa dilakukan manusia. Yang disebut lebih bersifat praktis adalah perubahan kebijakan, kelembagaan, dan praktik-praktik.
Memerhatikan pola bahwa manusia bertindak juga dilandasi oleh cara pandangnya, usulan-usulan itu belum mendasar. Yang dimaksud di sini adalah cara pandang manusia tentang Bumi dan kedudukan manusia itu di tengah alam sekitarnya. Salah satu sebab dari berbagai kerusakan ekosistem adalah cara pandang yang menempatkan manusia sebagai pusat (antroposentris).
Kesadaran bahwa Bumi sebagai ibu adalah kesadaran yang melihat kedudukan manusia vis-a-vis Bumi tidak lagi sebagai pusat. Bumi seisinya bukan sekadar alat. Masing-masing punya harkat dan martabat.
Hal ini kiranya perlu didorong lebih jauh supaya menjadi perubahan cara pikir. Diharapkan gerakan kepedulian yang sudah muncul jadi punya landasan yang lebih kokoh. Hal ini mengurangi kekhawatiran bahwa kepedulian yang ada sekadar mode sesaat.
Imperatif etis
Dengan berlandaskan pemahaman filosofis tentang kedudukan Bumi seisinya vis-a-vis manusia baru, muncul beberapa makna etis dari kepedulian. Salah satu gagasan itu bisa ditimba dari Henryk Skolimowski, filsuf Polandia yang menggeluti filsafat lingkungan. Dalam bukunya, Living Philosophy: Eco-Philosophy as a Tree of Life (1992), disebut, ada tiga imperatif etis bagi manusia yang menganggap Bumi sebagai ibu.
Pertama, hormat terhadap kehidupan. Artinya, setiap bentuk kehidupan yang ada di Bumi perlu dihormati sesuai dengan harkat dan martabatnya. Selain itu, setiap kehidupan saling terhubung sehingga menghormati hidup yang satu sebenarnya berarti menghormati kehidupan keseluruhan, termasuk manusia. Hormat terhadap keragaman pun lalu termasuk di dalamnya.
Kedua, bertanggung jawab. Hal ini berarti hormat dalam arti aktif. Hormat terhadap hidup bisa saja pasif, tetapi tanggung jawab mengandaikan bahwa setiap perbuatan punya landasan pertimbangan yang lebih utuh. Maka, kesewenang-wenangan terhadap alam dalam cara berpikir pendek bisa dihindari.
Ketiga, hidup hemat. Bisa dikatakan bahwa sikap hemat adalah sikap yang lebih jauh lagi dari tanggung jawab. Hemat berarti berani mengatakan cukup untuk diri sendiri dengan mengingat bahwa masih banyak yang membutuhkan supaya bisa hidup. Hidup bersama membutuhkan keberanian membatasi diri.
Hal terakhir ini pun layak digarisbawahi secara tebal mengingat salah satu sebab pokok kerusakan Bumi adalah ketamakan manusia. Dalam hal ini apa yang dikatakan Mahatma Gandhi pantas diingat, ”Bumi ini cukup menjamin hidup manusia dan kebutuhannya, tetapi bukan keserakahannya!”
Al Andang L Binawan Anggota The Climate Project Indonesia; Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. (Kompas. Kamis, 21 April 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar