Kamis, 28 April 2011

RUU Perkoperasian Kapitalis

Suroto

Terasa aneh, sebuah Rancangan Undang-Undang Perkoperasian disusun dengan substansi yang kapitalistik.

Aneh karena koperasi sendiri adalah bentuk perlawanan dari kegagalan sistem kapitalisme dan sistem yang ditengarai menjadi jalan tengah bagi ketegangan tarikan sistem dominasi negara dan sistem fundamentalisme pasar. Namun, begitulah kenyataan yang ada pada RUU Perkoperasian kita yang sudah diproses lebih dari 10 tahun, kini sedang digodok di DPR, dan ditetapkan dalam agenda legislasi tahun ini.

Kita pahami bahwa koperasi itu adalah organisasi yang berbasis pada orang, bukan asosiasi berbasis pada modal. Justru karena perbedaan ini, koperasi itu diakui dan ada.

Keberadaannya pun saat ini mulai mendapat pengakuan resmi. Setidaknya kita dapat lihat dari pengakuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menganggap koperasi itu telah berkontribusi nyata dalam pembangunan sosial-ekonomi masyarakat. Kemudian oleh Sidang Umum PBB, 19 Desember 2009 ditetapkan bahwa tahun 2012 sebagai Tahun Koperasi Internasional.

Dengan tingkat kekenyalannya sebagai sebuah sistem, koperasi tumbuh di hampir 100 negara di dunia yang berbeda sistem ideologi sosial, ekonomi, dan politik.

Status hukum

Dalam kajian teoretis per- koperasian, secara normatif, tujuan pemberlakuan Undang-Undang Koperasi adalah memberi status hukum kepada koperasi dan memfasilitasi kerja mereka untuk memastikan bahwa ko- perasi-koperasi bekerja sesuai dengan prinsip koperasi yang berlaku universal atau, dalam istilah lain, agar sesuai dengan jati dirinya.

Kerangka hukum bagi kope- rasi terdiri atas UU, peraturan yang dibuat di bawahnya, dan norma-norma yang diadopsi oleh para anggota koperasi sesuai dengan aturan hukum yang berla- ku. Semua ini bersama-sama membuat prosedur dan aturan untuk organisasi dan kerja koperasi, melindungi, dan memelihara karakter koperasi. Hukum koperasi dengan demikian harus bekerja dalam memfasilitasi koperasi serta menjamin otonomi kerja koperasi dan tak mengubah karakter dasar mereka.

Situasi politik Indonesia yang berubah begitu cepat dan cenderung belum stabil pada akhirnya turut berpengaruh terhadap dunia perkoperasian kita. Salah satu pengaruh yang nyata adalah seringnya berganti UU yang ada hingga pada akhirnya mengakibatkan distabilitas di sektor perkoperasian.

Ada delapan UU dan satu perppu yang mengatur tentang perkoperasian di Indonesia sejak zaman kolonial Belanda. Disadari bahwa banyak dari UU yang ada tak memenuhi syarat sebagai produk UU yang baik. Sering di- ganti dengan alasan macam-macam: jati diri koperasi tereduksi dalam substansi UU, penyusunannya ”dari atas ke bawah” ikut tradisi lama pemerintahan kolonial.

Dalam era reformasi, semangat membuat UU tidak bisa lagi ”dari atas ke bawah”. Sebuah UU yang memiliki citra positif dan berwibawa harus disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Andai ada perkembangan hingga substansi berubah dalam proses penyusunannya, harus ada landasan argumen yang rasional hingga masyarakat dapat menerimanya.

UU tak boleh lagi hanya jadi modifikasi rompi pengaman bagi kepentingan kewenangan birokrat penguasa atau politikus. Bagi gerakan koperasi, UU memang bukan hal paling menentukan. Soalnya, dalam diri koperasi sudah ada regulasi-diri, yaitu nilai-nilai dan prinsipnya atau jati dirinya.

Bukti empiris tersua di Norwegia dan Denmark. Kedua negara ini tak memiliki UU ko- perasi. Namun, koperasi di sana berkembang cukup baik, bahkan menjadi penyuplai koperasi kelas dunia. Jadi, selain aspek yuridis memang penting, sesungguhnya UU perkoperasian yang baik dalam banyak pengalaman di lapangan adalah menjadikan UU sebagai bentuk pengakuan atas praktik. Fungsi UU bukan ”me- ngatur-atur”, tapi menjamin lingkungan kondusif agar koperasi tumbuh dan berkembang hingga memberikan sumbangsih bagi pembangunan sosial ekonomi masyarakat.

Masih ”atas-ke-bawah”

Di Indonesia, yang pemahaman koperasinya masih lemah, prakarsa pengembangan kope- rasi pada umumnya masih ”dari atas ke bawah”. Di sini dapat saja sebuah UU berpotensi melucuti koperasi dari jati dirinya hingga banyak koperasi yang berkembang menyimpang dari koridor.

Mencermati RUU Koperasi yang ada saat ini, ada sebuah perkembangan. Di satu sisi isunya melakukan pembaharuan. Namun, bila kita cermati pasal per pasal, masih banyak bias dan cenderung keluar dari koridor jati diri koperasi, malah berubah menjadi kapitalistik.

Masih banyak pasal kontroversial, bahkan tidak konsisten dengan terjemahan dari jati diri koperasi.

Lihat misalnya kelemahan penerjemahan substansi filosofi dari jati diri koperasi yang menyangkut definisi, nilai-nilai, dan prinsipnya sebagai karakter yang khas (Pasal 1-4). Ada pula yang menyangkut proses pendirian koperasi (Pasal 9), definisi anggota yang hanya sebagai pengguna jasa (Pasal 26), kedudukan pengawas yang dominan dan lebih mirip model korporat kapitalis yang digerakkan dalam basis kendali investor (Pasal 48-49).

Juga persyaratan pengurus (Pasal 54), penyebutan Dekopin sebagai wadah tunggal gerakan yang membunuh proses demokratisasi (Pasal 13), serta tidak adanya sanksi yang jelas. Masih banyak pasal dalam RUU Perkoperasian yang tengah digodok di DPR yang akan berdampak melemahkan posisi koperasi.

Suroto Ketua Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I), Tinggal di Jakarta. Kompas, 25 April 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar