Oleh Ronny Rachman Noor
Ada tanda tanya besar dalam diri saya menyaksikan hebohnya pemberitaan serangan ulat bulu di hampir semua media elektronik dan cetak.Hampir semua kalangan menunjukkan reaksi yang sangat berlebihan, dari rakyat biasa sampai pejabat. Mereka menyikapi ulat bulu sebagai makhluk sampah yang harus dimusnahkan. Tidaklah mengherankan bila yang muncul adalah tindakan sadis dan reaktif: dari menyemprot dengan insektisida sampai membakarnya.
Zona homeostasis
Umumnya serangga mengalami siklus hidup, mulai dari telur, larva, pupa, hingga imago. Sebagai contoh, siklus hidup Cricula trifenestrata Helfer—lebih dikenal sebagai ulat avokad, ulat jambu mete, ulat kenari, dan ulat mangga—memiliki fase telur 7-11 hari. Ini diikuti siklus larva berupa instar I 5-6 hari, instar II 5-6 hari, instar III 4 hari, instar IV 4 hari, dan instar V 3-9 hari. Selanjutnya, fase pupa 17-21 hari dan fase imago (kupu dewasa) 4-11 hari. Total dalam satu siklus 43-58 hari (Suriana et al, 2011).
Umumnya serangga memerlukan kisaran suhu dan kelembaban udara yang memungkinkan siklus hidup di atas berlangsung baik. Inilah yang disebut zona homeostasis.
Fenomena yang biasa terjadi adalah jika suhu udara meningkat di atas ambang batas zona siklus hidup normal ulat, siklus hidup secara keseluruhan akan semakin cepat, kecuali pada fase pupa yang relatif lebih stabil. Sebaliknya, jika suhu lebih rendah dari ambang batas, siklus hidup menjadi lebih panjang dari siklus hidup normal.
Dalam entomologi, ada serangga yang hidupnya bergantung pada inang pohon tertentu, yang disebut serangga monofagus. Ada pula serangga yang hidupnya bergantung pada beberapa pohon, disebut serangga polifagus.
Secara alamiah dan naluriah serangga memiliki kepekaan terhadap perubahan lingkungan. Ketersediaan makanan dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan serangga. Serangga dapat mengatur waktu dan durasi pertumbuhannya, yang melibatkan hormon ekdison dan hormon-hormon lain.
Faktor ketersediaan makanan dan faktor eksternal lain, seperti perubahan iklim yang mengakibatkan perubahan suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan predator alami, akan sangat memengaruhi strategi fisiologi dan kelangsungan hidup serangga.
Dengan kata lain, serangga dapat mengatur berapa lama siklus hidupnya sesuai dengan kondisi lingkungan, termasuk mengatur jumlah telur yang dikeluarkan sang induk (Vanhanen et al, 2005; Gibert et al, 2005; Suriana et al, 2011).
Serangan ulat bulu yang akhir-akhir ini melanda sejumlah provinsi di Indonesia merupakan bentuk dari perubahan faktor eksternal dan internal yang memengaruhi siklus hidup serangga ini. Keseimbangan antara serangga dan inang telah berubah sehingga terjadi ledakan populasi.
Merugikan?
Sebagai awam, menyaksikan pohon mangga, jambu mete, avokad, dan jambu yang gundul memang sangat mengerikan, apalagi melihat ulat bulu dalam jumlah sangat banyak.
Aktivitas ulat menggunduli pohon adalah aktivitas alamiah karena daya dukung makanan tidak seimbang dengan jumlah ulat di satu pohon. Namun, secara alamiah aktivitas ulat ini tidak akan mematikan pohon.
Ada yang belum diungkap dalam kasus serangan ulat bulu ini, yaitu pohon yang gundul sebenarnya diuntungkan. Dari berbagai hasil studi, produktivitas tanaman yang mengalami stres ringan, seperti digunduli ulat, akan meningkat.
Dari hasil pengamatan di lapangan, serangan ulat pada avokad dan jambu mete akan menstimulasi pohon berdaun lebih lebat serta berproduksi lebih baik dengan kualitas dan kuantitas buah yang lebih baik pula (Suriana et al, 2011). Inilah yang dalam genetika ekologi dikenal sebagai ”kompensasi”, yaitu stres ringan dapat meningkatkan produktivitas.
Banyak di antara serangga tersebut, terutama dari famili Bombycoidae, justru menguntungkan karena kokonnya dapat dijadikan serat sutra alam, seperti Bombyx mori yang menjadi tulang punggung penghasil 99 persen sutra dunia.
Spesies ulat sutra liar dari famili Saturniidae menghasilkan serat sutra yang sangat indah dan khas. Sebagai contoh, benang sutra yang diproduksi dari kepompong ulat avokad, jambu mete, mangga, kayu manis, dan kenari, yaitu Cricula trifenestrata, seperti disinggung di atas sangat indah karena berwarna keemasan. Harga benang sutra emas ini Rp 1,5 juta-Rp 1,7 juta per kilogram. Harga kokonnya saja Rp 65.000-Rp 70.000 per kilogram.
Bertolak dari uraian di atas, semestinya ulat tidak semata-mata dipandang sebagai hama. Ulat bisa menyuburkan inangnya dan produksi kokonnya sangat berharga. Jika ulat dapat dikelola dengan baik, akan banyak sekali sisi positif yang dapat ditonjolkan dan dimanfaatkan.
Sejak pelaksanaan Jogja International Silk Exhibition and Conference di Yogyakarta tahun 2002 dan dilanjutkan dengan Yogya Expo Center, penggunaan sutra dari ulat sutra liar ini makin berkembang. Sejumlah desa, seperti Desa Karang Asem, Bantul, telah berubah menjadi tujuan wisata sutra liar. Daerah tersebut memanfaatkan lahan tandus sebagai tempat pengembangan ulat sutra liar dengan inang tanaman jambu mete, sirsak, dan mahoni.
Jadi, perlu ada pergeseran paradigma dari memandang ulat sebagai makhluk yang sangat mengerikan menjadi makhluk ciptaan Allah SWT yang bermanfaat jika dikelola dengan baik. Hikmah lain yang juga perlu direnungkan adalah hendaknya kita sadar untuk tidak melakukan aktivitas yang dapat mengganggu keseimbangan alam.
Ronny Rachman Noor Wakil Kepala LPPM IPB Bidang Penelitian. (Kompas. Selasa, 19 April 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar