Jumat, 29 April 2011

Sengketa Tanah TNI

KIKI SYAHNAKRI
Sengketa tanah antara TNI dan rakyat sudah berulang terjadi. Dalam lima tahun terakhir terjadi empat kasus besar yang, antara lain, menimbulkan korban jiwa dan luka-luka.
Pada 22 Januari 2007 terjadi di Rumpin, Bogor, Jawa Barat, dan melibatkan TNI AU. Pada 30 Mei 2007 terjadi di Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur, dan melibatkan TNI AL. Terakhir pada 1 Juli 2009 dan 16 April 2011 di Kebumen, Jawa Tengah, melibatkan TNI AD.
Berbagai analisis muncul, termasuk yang bernada minor terhadap TNI. Ada yang mengatakan penyebabnya reformasi TNI yang belum tuntas: kultur kekerasan TNI belum berubah. Yang lain berpendapat akibat kesemrawutan administrasi pertanahan nasional oleh belum memadainya, bahkan lalainya, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Keuangan, dan pemerintah daerah melaksanakan fungsi dan tugasnya.
Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, sengketa tanah TNI dengan rakyat merupakan bahaya laten atau bom waktu (Kompas, 25/4). Saya sependapat: ke depan hal serupa akan terus terjadi bila akar masalah sengketa itu tak tersentuh.
Ruang hidup
Kasus sengketa tanah disertai kekerasan di negeri ini sudah sering terjadi. Masalah klasik ini tak hanya menghadapkan TNI dengan rakyat. Juga antar-rakyat perorangan maupun kelompok (horizontal), antara rakyat dan pemerintahan sipil pada tingkat mana pun dari desa sampai provinsi (vertikal). Yang harus disadari TNI, terutama unsur pemimpinnya, ialah kenyataan bahwa sengketa tanah TNI versus rakyat lebih jadi sorotan publik dan berita di media massa.
Problem pertanahan berspektrum luas. Masalah sosial, adat budaya, bahkan politik merupa- kan aspek terkait. Namun, sebagian besar dilatari masalah ekonomi. Secara umum boleh dibilang, persoalan ini sangat berkaitan dengan eksistensi manusia di mana dan kapan saja yang tak pernah lepas dari kebutuhan akan tanah.
Sebagai gambaran kuantitatif, pada awal kemerdekaan penduduk Indonesia lebih kurang 60 juta jiwa. Sebagian besar di Pulau Jawa. Menurut Sensus 2010 BPS, jumlah penduduk 237.556 juta jiwa dan 60 persen menghuni Pulau Jawa. Diprediksi pada 2025 penduduk Indonesia mencapai 273,2 juta jiwa: 55,4 persen mendiami Pulau Jawa yang luasnya kurang dari 7 persen luas daratan Indonesia.
Laju pertumbuhan penduduk tanpa diimbangi penyebaran yang proporsional ini mengakibatkan kesulitan penduduk Jawa mencari ”ruang hidup”. Kesulitan mencari ruang hidup inilah secara derivatif melahirkan berbagai sengketa tanah yang, antara lain, menghadapkan TNI dengan rakyat. Sejak Orde Baru, pembangunan industri, pertanian, dan pendidikan terkonsentrasi di Jawa. Konsekuensinya, pembangunan infrastruktur, sektor jasa, dan perdagangan mengikutinya sehingga sebagian besar peluang hidup bagi rakyat tersedia di pulau ini. Kebijakan pemerintah pasca-Orde Baru dari Habibie sampai kini tak pernah me- nunjukkan perhatian memadai terhadap masalah ini.
Dewasa ini pemerintah lebih sibuk mengurus manajemen stabilitas kekuasaan dengan membangun koalisi atau merancang bangun kekuatan politik untuk mengantisipasi pemilu. Kemudian riuh-rendah bicara perihal kenyamanan berkantor, misalnya rencana membangun gedung baru DPR yang secara esensial tak menyentuh problematika kebangsaan, termasuk masalah tanah. Eksploitasi
sumber daya alam secara besar-besaran di luar Jawa dengan penguasaan permodalan oleh asing di atas 80 persen tanpa diikuti pembangunan sektor industri dan lainnya menyulitkan terciptanya peluang hidup baru di luar Jawa. Pergerakan penduduk dari luar ke dalam Jawa tetap berlangsung karena ketersediaan peluang hidup.
Upaya transmigrasi yang digalakkan sejak dulu lebih banyak berhenti pada ”proses pemindahan penduduk” tanpa diikuti upaya pembukaan ruang hidup memadai dan manusiawi. Maka, tak sedikit transmigran memilih pulang kampung, tak kuat menghadapi beban yang menuntut pencarian peluang hidup di lingkungan baru secara mandiri. Figur senior TNI yang juga Ketua Dewan Pembina PPAD Jenderal TNI (Purn) Widjojo Soejono mengatakan, sesungguhnya tak perlu ada program transmigrasi, yang kelihatan dipaksakan, manakala diciptakan ruang hidup baru di luar Jawa. Secara analogi, beliau menggambarkan, tanam saja pohon dengan baik dan menarik. Setelah berbuah niscaya burung pindah ke sana dengan sendirinya.
Amanat konstitusi
UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 mengamanatkan: ”Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Namun, kenyataannya banyak perundang-undangan yang liberalistis justru membentangkan karpet merah bagi para kapitalis asing mengokupasi tanah negeri ini. Dengan kekuatan modal yang hegemonistis berjangka panjang, mereka diberi ruang teramat lebar untuk mengeruk segala kekayaan alam dan mengisap mineral kita secara masif. Hutan sudah habis. Minyak dan batu bara hampir ludes. Tiada kontribusi memadai terhadap peningkatan kemakmuran rakyat. Kebijaksanaan pengelolaan sumber daya alam benar-benar telah mencederai jiwa UUD kita.
Efek kehadiran para kapitalis raksasa secara drastis membuat senjang sosial-ekonomi kian menganga. Contoh sederhana yang sangat berpotensi melumpuhkan kekuatan ekonomi (ke)rakyatan adalah menjamurnya berbagai pusat belanja waralaba (asing) dari yang berskala mega/hiper sampai mini hingga mematikan pedagang kecil di pasar tradisional.
Pertumbuhan pasar swalayan itu perlu diatur secara ketat sambil memfasilitasi para pedagang kecil di pasar tradisional. Alangkah elok jika setiap mal diharuskan menyediakan 5-10 persen ruang untuk pedagang kaki lima yang tentu saja ditata baik, teratur, dan estetis. Ada ilustrasi menarik dari cerita orang tua dahulu. Di zaman kolonial ada trem yang menghubungkan Jatinegara-Kota. Setiap trem terdiri dari tiga gerbong: yang pertama untuk orang Belanda, kedua untuk kaum priayi pribumi, dan ketiga untuk rakyat umum termasuk pedagang kaki lima.
Memang sangat diskriminatif-feodalistis, namun tecermin masih ada ruang bagi orang kecil. Bagaimana mungkin di era kemerdekaan bahkan di zaman modern yang seharusnya antifeodalis antikolonialis, ruang hidup justru ditutup bagi orang-orang kecil? Deskripsi ini menandaskan, akar persoalan tanah adalah ketersediaan dan kebutuhan akan ruang hidup. Karena itu, pemerintah harus lebih memerhatikan rakyat kecil. Rakyat dan TNI hanya korban ketaktersediaan ruang hidup secara memadai, terutama di Jawa.
KIKI SYAHNAKRI Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat. Kompas, 29 April 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar