Rabu, 13 April 2011

Mereka pun Ingin Pemimpinnya Bermoral

Karena nila setitik rusaklah susu sebelanga.karena kesalahan kecil, mengakibatkan kehancuran yang besar.
Peribahasa yang pantas didengungkan disaat moralitas pemimpin banyak dipertanyakan. Bukan sebuah peribahasa yang berlebihan jika dikaitkan dengan tragedi anggota dewan yang beberapa waktu lalu hangat diperbincangkan. Bahkan akibat ulahnya mengakses situs porno pada saat rapat paripurna di parlemen, mengundang reaksi beragam dari kalangan masyarakat. Ujungnya, jabatan sebagai anggota dewan pun (mungkin) terpaksa ditanggalkannya.


Degradasi moral. Sebuah frase yang seharusnya menjadi perhatian serius seorang pemimpin untuk tetap menjadi panutan rakyatnya. Akibat degradasi moral itulah banyak pejabat Negara dituntut untuk segera mundur dari tahtanya. Bahkan pemegang kekuasaan tertinggi pada suatu Negara pun dipaksa hengkang dari kursi empuknya.

Kasus skandal seks Presiden Amerika Bill Clinton, yang saat itu sempat membuat gempar Gedung Putih, mengantarkan Bill Clinton untuk terjun dari tampuk kekuasaannya. Kasus serupa juga terjadi di Italia. Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi akhirnya menghadiri sebuah persidangan yang membahas tindakan asusilanya dengan seorang pelacur. Meskipun belum sampai pada penurunan tahta, setidaknya kasus itu membuat gerah rakyat Italia.

Akan tetapi, ada hal menarik dari kedua kasus tersebut, bahkan mungkin kasus serupa lainnya yang belum sempat terekspos media. Suatu hal yang seharusnya bisa dijadikan pelajaran atau bahkan bahan perenungan bagi seorang pemimpin, tak terkecuali rakyatnya. Kalau kita perhatikan, Negara Amerika dan Italia, notabene kedua Negara itu bisa dibilang menghalalkan seks bebas. Di sisi lain, meskipun seks bebas menjadi hal yang lumrah di kedua Negara tersebut, rakyat tetap menginginkan pemimpin mereka menjunjung tinggi nilai-nilai moral bangsanya.

Sejenak kita kembali melihat bagaimana dengan Negara kita. Memang tidak jauh berbeda dengan kedua Negara tersebut, atau bahkan Negara-negara lainnya, terutama tentang selera memilih pemimpinnya, bukan tentang seks bebasnya. Hanya saja, kualitas moral tidak dijadikan salah satu tolak ukur yang penting dalam menentukan pilihan pemimpin. Banyak hal yang mempengaruhi keadaan ini. Bisa jadi karena memang tidak lagi ada calon pemimpin yang bermoral atau justru masyarakat sudah mengesampingkan masalah itu, yang penting presidennya dari golongan saya, misalkan saja seperti itu.

Alhasil kasus amoralpun tetap saja terjadi berulang-ulang dari tahun ke tahun , seperti tak pernah ada perbaikan. Lihat saja kasus yang lagi-lagi terjadi di antara anggota dewan. Mulai dari tindakan asusila, sampai kasus yang sudah biasa didengar oleh kita, Korupsi. Lalu siapa yang salah pada kasus ini, masyarakatkah yang memilih, atau mereka yang dipilihlah yang tidak menjalankan amanahnya. Akan sangat naif apabila menanyakan siapa yang salah. Karena sejatinya yang salah pun masih bisa dibenarkan. Tidak ada jawaban pasti untuk kasus ini, karena keduanya bisa saling mendukung munculnya permasalahan ini.

Air beriak tanda tak dalam. Bukan berarti yang berbicara moralpun sudah tentu bermoral baik. Tidak sedikit yang berbicara, dan tidak sedikit pula yang tidak menerapkannya. Yang perlu menjadi perhatian lebih adalah, mulailah dari diri kita untuk melihat kebenaran dari apa yang dibicarakan. Tanpa perlu mempersoalkan siapa yang berbicara. Pepatah klasik arab mengatakan undzur maa qoola wala tandzur man qoola. Lihatlah apa yang dibicarakan, jangan melihat siapa yang bicara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar