Oleh Puthut Indroyono
Harus diakui, pendekatan demokratis tak pernah jadi pilihan utama dalam kebijakan energi kita dalam tiga dekade terakhir. Kalaupun ada, porsinya minimal dan hanya memberi kesan populis. Demikian pula dalam pengembangan energi terbarukan.
Di negeri dengan masyarakat lebih individualistis, program energi baru berbasis kepemilikan kolektif dan negara dapat berkembang pesat. Model sentralistis berbasis pasar kian ditinggalkan karena energi adalah soal negara dan rakyatnya, bukan semata-mata pasar.
Partisipasi rakyat
Alaska Permanent Fund adalah cerita sukses legislasi yang menempatkan partisipasi rakyat dalam produksi energi di AS, khususnya Alaska. Di negara bagian itu setiap warga negara mendapat dividen tahunan dari ”BUMN” sejak tiga dekade lalu.
Pendekatan kepemilikan kolektif jadi magnitudo dan kecenderungan baru dalam investasi energi terbarukan. Praktik monopoli dan oligopoli negara dan swasta seakan-akan dianggap sebagai sumber krisis energi laten sekaligus krisis lingkungan.
Sebagai gantinya adalah pengelolaan energi berbasis investasi rakyat. Partisipasi rakyat tak sebatas konsumsi. Juga pada produksi, distribusi, dan penguasaan faktor produksi. Rakyat didorong berpartisipasi pada aspek material (bahan baku, peralatan, teknologi, modal finansial, dan tenaga kerja), intelektual (keahlian), serta institusional (modal sosial).
Hasilnya, mereka berbondong-bondong beli saham energi, menyetor ”simpanan wajib atau sukarela”, membolehkan tanahnya sebagai tempat pembangkit atau sekadar dilewati transmisi listrik. Mereka mendukung program itu sebab kontribusi sekecil apa pun diperhitungkan dalam biaya ataupun laba.
Pendeknya, pemain energi terbarukan makin diperluas. Denmark merupakan negara paling sukses: menyumbang 20 persen untuk pasokan energi baru saat ini. Di Inggris ada ”energy4all”, koperasi energi angin yang melibatkan banyak anggota kope- rasi, pengembang lokal, dan pusat studi energi.
Makin banyak orang terlibat, makin demokratislah sistem pemasokan energi. Penjual energi dapat laba wajar, pemilik tanah dapat sewa, rakyat dapat tambahan fasilitas, penduduk lokal dapat bekerja, pemerintah dapat pajak, dan konsumen berdaya menentukan harga energi. Banyak studi menyimpulkan keunggulan model ini.
Pertama, metode ini membuka kesempatan kepada rakyat merevitalisasi proyek macet pada masa lampau yang ditinggalkan pemerintah atau investor karena tak menguntungkan. Di Indonesia banyak proyek energi baru terbengkalai. Pertamina, PT RNI, dan PGN harus ”menyumbang” Rp 10 miliar untuk proyek biodiesel bagi program Desa Mandiri Energi di Grobogan. Petani dimobilisasi melalui kelompok tani dan diposisikan sebagai pemasok bahan baku, bukan pada kemanfaatan energi baru kini dan masa depan.
Lain cerita apabila mereka diberi kesempatan jadi pemilik proyek biodiesel lewat skema yang disepakati seperti saham atau koperasi. Dalam kasus Grobogan, ”proyek gagal” itu kemudian diambil perusahaan yang justru memanfaatkan biji jarak untuk produk lain atau diekspor. Alasan gagal program: harga jual bahan baku menjadi tak relevan.
Kedua, meluasnya partisipasi rakyat dapat meningkatkan investasi energi terbarukan. Meski tingkat pengembalian modal lebih rendah, di banyak negara hal itu tak menyurutkan semangat masyarakat berinvestasi. Kita masih ingat, investasi produk strategis bangsa justru diberi kepada pemodal asing.
Ketiga, muncul kesadaran masyarakat, energi adalah persoalan mereka sehingga berkepentingan menjaga kesinambungan: murah dan bersih secara lingkungan.
Tentu masih banyak dampak positif kepemilikan yang mendorong kesadaran dan kesejahteraan rakyat, seperti laba yang terdistribusi, biaya transmisi murah karena pembangkitnya juga terdistribusi. Dukungan publik kepada pemerintah meningkat.
Tak mudah
Tak mudah, tetapi pada masa lalu kita memiliki tingkat swadaya tinggi pada kepemilikan kolektif. Jika potensi besar itu dikembangkan, tak mustahil pada masa depan di banyak desa akan ada perusahaan listrik desa yang berfungsi seperti PLN. Pemegang sahamnya pemerintah, investor lokal, pusat studi, masyarakat setempat, koperasi, kelompok tani, dan kelompok perempuan.
Peraih Nobel Ekonomi 2009, Elinor Ostrom, menolak keras bahwa pengelolaan common property selalu buruk dan perlu diambil alih negara atau diprivatisasi. Baginya semuanya sama- sama tak lebih baik daripada yang lain berdasarkan teori standar. Dengan keseriusan semua pihak, energi kolektif rakyat dapat jadi sarana peningkatan kedaulatan energi terbarukan.
Puthut Indroyono Peneliti di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM. (Kompas. Selasa 19 April 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar