Jumat, 22 April 2011

Governansi Ekonomi Pupuk Majemuk

OLEH BUSTANUL ARIFIN
Governansi ekonomi (economic governance) adalah ranah baru dalam perkembangan analisis ekonomi modern untuk memperbaiki proses dan hasil akhir (outcome) dari suatu perumusan dan pelaksanaan kebijakan, tidak terkecuali di sektor pupuk.
Pemberian hadiah Nobel Ekonomi 2009 kepada Profesor Elinor Ostrom dan Profesor Oliver Williamson (warga Amerika Serikat) seakan pelepas dahaga tentang betapa penting sebuah kebijakan diambil berdasarkan landasan obyektif-teknokratik dan empiris-kemanfaatan/kearifan masyarakat. Kebijakan ekonomi akan kacau balau jika hanya didasarkan pada lobi-lobi bisnis dan politik yang sering mengatasnamakan ”aspirasi arus bawah”, misalnya.
Pupuk sebagai salah satu faktor penting produksi tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan sebenarnya telah menjadi bagian dari pembangunan peradaban sistem pertanian di Indonesia. Penggunaan pupuk kimia (anorganik) berkembang setelah Revolusi Hijau yang dimulai sejak program Bimbingan Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas).

Penggunaan pupuk harus melewati skema subsidi yang dilaksanakan secara terpadu dengan penyaluran sarana produksi lain, umumnya dalam bentuk paket dan merupakan bagian dari program Pemerintah Orde Baru, terutama untuk produksi pangan. Pada dekade 1980-an, Indonesia secara serius mengembangkan dan meremajakan tanaman ekspor serta melakukan intensifikasi komoditas perkebunan strategis. Maka, subsidi pupuk juga mulai disalurkan ke sektor perkebunan.
Pada era modern saat ini Indonesia masih menempuh kebijakan subsidi pupuk, terutama untuk mendukung produksi pangan. Petani tanaman pangan kian bergantung pada pupuk kimia walaupun telah terdapat diversifikasi penggunaan pupuk organik dan pupuk majemuk.
Data Badan Pusat Statistik (2009) menyebutkan, 68 persen petani padi menggunakan pupuk kimia dan 23,5 persen menggunakan pupuk kimia dan pupuk organik. Artinya, lebih dari 91 persen petani padi Indonesia menggunakan pupuk. Sebanyak 36,8 persen petani jagung menggunakan pupuk kimia dan 46,1 persen pupuk kimia dan pupuk organik. Lebih dari 73 persen petani kedelai bergantung pada pupuk dan lebih dari 96 persen petani tebu juga bergantung pada pupuk.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tingkat ketergantungan petani yang tinggi pada pupuk telah berada pada point of no return. Jadi, pupuk harus selalu tersedia dan terjangkau.
Persoalan governansi bermula saat kebijakan subsidi pupuk sering menjadi isu politik sehingga para perumus kebijakan enggan untuk merumuskan strategi keluar dari kebijakan subsidi yang menghabiskan Rp 16,4 triliun pada APBN 2011. Penurunan subsidi dari Rp 18,4 triliun APBN-P 2010 tampak tidak bermakna signifikan karena pemerintah masih ragu menetapkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi di tingkat petani pada musim tanam 2011.
Menjelang musim tanam kedua 2011 untuk padi dan tanaman pangan lain, petani dihadapkan pada kontroversi sistem produksi dan distribusi pupuk majemuk. Disebut pupuk majemuk (compound fertilizer) apabila pupuk yang diproduksi mengandung dua atau lebih unsur hara tanaman. Unsur hara penting yang sering dicampur adalah nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K).
Untuk skala besar, setidaknya terdapat tiga jenis pupuk majemuk yang saat ini beredar dengan berbagai merek dagang, yaitu Phonska produksi PT Petrokimia Gresik dengan kandungan unsur hara N-P-K sebesar 15-15-15 persen; Pelangi produksi PT Pupuk Kaltim dengan kandungan N-P-K sebesar 20-10-10 persen; dan NPK Kujang produksi PT Pupuk Kujang dengan kandungan N-P-K sebesar 30-6-8 persen.
Persoalan di lapangan menjadi pelik karena ketiga produsen pupuk yang sama-sama badan usaha milik negara dan berada di bawah induk PT Pusri Holding itu secara aktif melakukan pengembangan produk dan penetrasi pasar. Setiap produsen pupuk mengalami tuntutan (pressure) tinggi untuk meningkatkan kinerja perusahaan sehingga mampu menghasilkan tambahan penerimaan negara.
Kontroversi ”persaingan” memuncak saat Kementerian Pertanian belum menetapkan standar atas pupuk majemuk ini (Kompas, 12 April) karena belum pernah dilakukan uji lapang serempak tentang efektivitas pupuk majemuk tersebut pada peningkatan produksi pertanian yang dilakukan secara terbuka.
Kalaupun studi-studi kecil pernah dilakukan di universitas atau lembaga penelitian, secara substansial persoalan komparabilitas ketiga jenis pupuk majemuk tersebut masih perlu dipertanyakan. Membandingkan dampak produktivitas komoditas pertanian dari suatu metode pencampuran pada pupuk majemuk yang memang berbeda (chemical versus physical blending) tentu bukanlah perbandingan apple to apple.
Untuk meningkatkan kualitas governansi ekonomi pupuk majemuk, beberapa hal berikut layak dipertimbangkan. Pertama, studi lengkap dan mendalam untuk melakukan uji lapang yang obyektif masih perlu dilakukan sebagai landasan perubahan kebijakan ke depan. Idealnya studi ini dilaksanakan oleh PT Pusri Holding. Langkah ini akan memperkuat aktivitas penelitian dan pengembangan di dalam perusahaan negara tersebut. Badan Litbang Pertanian, universitas, dan lembaga akademik lain dapat saja melakukan kajian serupa agar diperoleh hasil lebih lengkap untuk jenis tanah dan tanaman tertentu pada kondisi agroekologi yang berbeda.
Kedua, simplifikasi aransemen kelembagaan atau landasan hukum kebijakan ekonomi pupuk, terutama yang bersubsidi. Saat ini penetapan HET pupuk ditentukan oleh Kementerian Pertanian, tetapi pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi ditentukan oleh Kementerian Perdagangan. Langkah simplifikasi ini akan bermanfaat untuk mengurangi kontroversi distorsi atau meningkatkan governansi secara umum.
Ketiga, pencabutan atau minimal peninjauan menyeluruh atas Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi sebagai Barang dalam Pengawasan. Cukup banyak bukti empiris bahwa aturan itu sering menjadi sumber bargain politik dan hukum di lapangan. Harapannya adalah kualitas governansi ekonomi kebijakan subsidi pupuk dapat ditingkatkan dengan mempertahankan esensi utama bahwa setiap penyimpangan anggaran harus mendapat sanksi hukum yang berat.
Bustanul Arifin Guru Besar Unila; Professorial Fellow di InterCAFE & MB-IPB; dan Anggota Komite Inovasi Nasional. Kompas, 19 April 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar